Kaki-kaki itu berjalan cepat dilorong rumah sakit. Pikirannya frustasi saat mendapati lift penuh dengan orang-orang yang menaikinya. Tidak ada jalan lain selain tangga darurat untuk menuju lantai atas. Tanpa peduli teriakan Jaemin dan kejaran beberapa orang lainnya, Renjun terus menaiki tangga tanpa henti. Sekalipun nafasnya hampir habis, ia enggan mengistirahatkan diri.
Lantai tiga menjadi tujuan utamanya. Hatinya menjerit tak terima dengan keadaan yang lagi-lagi menyudutkan dirinya. Langkahnya tak lagi terukur seberapa cepat. Tangannya tak lepas dari perut yang bergejolak tak karuan. Tangisnya sudah pecah sejak beberapa waktu lalu. Renjun ingin menyalahkan siapapun yang mempersulit jalan hidupnya. Ia ingin menyalahkan takdir yang begitu kejam merampas kebahagiaannya.
Ia berhenti sejenak diujung tangga, mengatur nafasnya yang memburu sesak. Cengkraman kuat pada tralis besi sekaligus menyalurkan emosinya. Kakinya lemas, namun tetap dipaksakan untuk kembali berjalan cepat.
Dua orang dokter yang tengah berbincang didepan ruang rawat Jeno tak ia hiraukan. Larangan untuk masuk tak digubris olehnya. Ia hanya ingin Jeno, ia ingin memastikan Jeno baik-baik saja dengan matanya sendiri.
Dadanya berdenyut nyeri melihat apa yang sedang terjadi. Beberapa alat yang semula menempel ditubuh itu dilepas satu persatu. Dengan racauan tak terima, Renjun menolak tindakan itu. Menyuruh orang-orang berbaju putih itu untuk menghentikan kegiatannya.
"Jeno sialan!" Pekiknya memukul lengan Jeno sedikit kasar. Tangisnya kembali pecah dihadapan Jeno yang diam tak berdaya. Wajah pucat tanpa binar apapun, tanpa warna yang menghiasinya. Renjun merasa hati dan perasaannya dicabik dengan ganasnya melihat itu. "Bangun!"
"Nyonya, tenangkan diri anda," ucap salah seorang disana.
Renjun tak terima, ia pasangkan kembali masker oksigen pada Jeno. "Ayo bangun, Jeno. Ayo, aku menunggumu," ucapnya serak. Tubuhnya bergetar hebat menahan tangisnya mati-matian.
Jaemin berdiri linglung didepan pintu, menyaksikan kehancuran sahabatnya sendiri. Pedih melingkupi suasana disana. Tentang bagaimana Renjun bisa sekacau ini karena Lee Jeno, bagaimana air mata itu mengartikan seluruh rasa sakit yang terlalu banyak menggerogoti perasaan. Jaemin tak kuasa melihat Renjun hancur, maka ia memilih kembali keluar, duduk dikursi tunggu dengan tubuh lemas. Isakannya hanya ia yang tahu, tangisnya entah diperuntukkan pada apa.
Ten nyaris pingsan saat melihat anaknya tertidur damai. Wajah tampan yang ia rindukan akhirnya sampai pada penglihatan. Namun bukan keadaan begitu yang ia inginkan. Bukan anaknya yang tidak berdaya dengan seluruh kesakitan yang belum ia sembuhkan. Ia memang jahat, namun tak sejahat itu dengan bersenang hati atas kesakitan anaknya. Ten menyayangi Jeno sama seperti menyayangi Mark, tapi ia tidak sadar jika rasa sayangnya membuatnya salah dalam mendidik dan bersikap.
"Hyung, anakku..." Lirihnya dalam dekapan Taeyong.
Dalam sisa tangisnya, Renjun tersenyum. Senyum yang mempunyai arti kesedihan. Dalam dua bola matanya terlihat jelas duka yang mendalam. Entah cara seperti apa yang harus dilakukannya agar Jeno mengerti keadaannya. Jeno belum pergi, ia yakin itu. "Kau tidak mau bangun? Bagaimana denganku kalau kau pergi?" Ucapnya sembari mengusap helaian rambut lebat Jeno. Renjun tak ingin tangisnya kembali pecah, ia tahan sekuat tenaga. Ia tenangkan anaknya yang seolah tak terima dengan kesedihan ibunya.
Dilihatnya Ten yang menghampiri ia dan Jeno. Diseberang sana, Renjun melihat harapan dan keputusasaan sekaligus. Sama seperti dirinya. Mungkin orang tua itu juga ingin anaknya kembali bangun.
"Maafkan Mom, sayang. Ayo, bangun," icap Ten lirih tepat disamping Jeno. Tangan bergetarnya mencoba menggenggam tangan dingin anaknya. "Kau masih ada kan? Jangan menyerah dulu, katanya kau kuat? Mana anak kami yang kuat itu? Bangun ya?" Dalam tangisnya ia terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soreness | NoRen
Fanfic"Yang pertama bukan berarti yang terakhir." BxB || GAY || MPreg ©Jeojae 2021 Start : 18 Mei 2021 Finish : 6 September 2021 Pict : Pinterest