11

18.6K 2K 243
                                    

Semilir angin menyambutnya saat netranya terbuka sempurna. Pemandangan rumput hijau luas memanjakan mata. Berbagai macam bunga tumbuh dengan cantiknya. Sejauh mata memandang, Renjun hanya melihat keindahan. Berbagai macam warna menyatu padu begitu serasi.

Tubuhnya perlahan berdiri, menepuk baju yang dirasa kotor. Ia baru sadar dimana dirinya? Pakaian putih bersih yang dipakainya tak sedikitpun menampakkan noda setelah acara berbaringnya tadi. Netranya menyipit. Angin membelai kulitnya dengan lembut. Kaki telanjangnya dimanjakan dengan rumput hijau yang dipijaknya.

Entah kemana langkahnya terarah, Renjun hanya ingin mencari sesuatu yang mungkin dikenalinya. Tidak mungkin dia seorang diri ditempat yang luas dan indah ini. Sedetik kemudian ingatannya terlempar pada kejadian terakhir yang dialaminya. Refleks tangannya menyentuh perutnya sendiri. Ia mendesah lega saat perutnya masih berisi. Tidak bisa membayangkan jika anaknya benar-benar lahir diusia kandungan yang bahkan belum bisa dikatakan matang.

Kakinya terus melangkah, ketakutan perlahan menyergapnya. Tubuhnya bergetar saat tak mendapati siapapun disana selain dirinya. Air mata berlomba-lomba keluar dari pelupuk matanya. Apakah ia tersesat? Tapi terakhir kali ia berada dirumah sakit, bukan taman seperti ini. Ia masih ingat betul bagaimana rasa sakit yang melandanya.

Tubuhnya mendadak kaku saat mendapat pelukan tiba-tiba dari belakang. Matanya terpejam erat dengan tubuh semakin menggigil ketakutan.

Tunggu.

Aroma yang sampai pada penciumannya membuat Renjun membuka mata. Kepalanya menoleh ke samping. Mendapati Jeno yang tengah tersenyum manis hingga lengkungan sabit terbentuk dikedua matanya.

"Jeno."

Tanpa menunggu lama, ia berbalik memeluk erat sosok yang lama ia rindukan. Tangisnya semakin pecah saat mendengar kekehan halus.

"Jangan pergi lagi," ucapnya terisak.

"Jangan menangis," suara berat yang lama tak didengar membuat Renjun semakin terisak. Saat kedua tangan besar itu menangkup wajahnya, ia hanya bisa menatap dengan kedua matanya yang sakit.

"Kalau kau menangis, disini sakit." Jeno menunjuk dadanya sendiri.

"Jangan pergi, jangan pergi," ucap Renjun lagi. Ia meremat baju yang dikenakan prianya.

Jeno mengulas kembali senyum manis. Dihapusnya air mata yang menganak sungai dipipi berisi tersayangnya. Ia mengusak pelan puncak kepala Renjun. Tak tahan untuk mengecup ranum pujaan hatinya.

"Jeno, jangan pergi lagi! Disini saja denganku!"

"Disini dimana?" Tanya Jeno menggoda. Ia mencubit hidung Renjun yang memerah karena tangisnya tadi.

"Disini." Renjun linglung saat dirinya sendiri pun tak tahu dimana tempatnya berpijak ini. Ia terbata saat Jeno menatapnya lekat menunggu balasan. "Ya pokoknya disini, Jeno!"

"Haha... Iya, iya. Aku disini saja, denganmu, ya?"

Renjun selalu menyukai saat Jeno tertawa. Seolah dunianya berpusat padanya saat melihat binar bahagia yang begitu tulus. Tanpa sadar tangannya telah hinggap dipipi si pemilik marga Lee. Jeno begitu tampan dan bercahaya. Apakah pria ini bahagia? Renjun begitu penasaran dengan apa yang dirasakan Jeno sekarang.

Tangannya ditarik lembut hingga mereka tiba dibawah pohon yang rindang. Jeno mengajaknya duduk dibawah pohon itu. Renjun hanya menurut, duduk secara hati-hati dan bersandar nyaman di batang pohon besar itu. Jeno duduk disampingnya dengan tangan bertautan dengannya. Mengecupnya beberapa kali.

"Rindu tidak?" Tanya Jeno lembut. Ia merapikan helaian hitam Renjun yang memanjang menghalangi pandangan. "Cantik," gumamnya.

"Rindu sekali," imbuh Renjun. Ia menyandarkan kepalanya dibahu dominan Lee.

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang