"Tolong bawakan ini ke ruangan saya, ya," pinta Pak Amar. Vala mengiyakan. Dia segera mengangkat 36 buku tulis lalu membawanya ke ruang guru.
Gedung SMA Helsinski sangat luas. Dia belum tau letak ruang guru saking besarnya. Jiwa antisosialnya menghalangi Vala untuk bertanya pada yang lain. Gedung sekolah memang tampak besar pada mulanya, ia yakin tidak sebesar itu. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Di bagian depan sekolah, hanya ada ruang kepala sekolah, lobi, dan administrasi. Kemana ruang guru itu? Tangan Vala mulai pegal.
Brukk
Jatuh. Buku-bukunya berserakan.
Cewek berkuncir kuda itu tidak jadi berjongkok untuk memungut buku-buku itu ketika ia sadar seseorang dengan cepat berjongkok untuk membantunya. Vala sengaja hanya memandangi laki-laki itu. Ini tidak akan jadi adegan klise. Untuk menghindarinya, Vala memilih berdiam sambil menunggu laki-laki itu selesai. "Thanks, ya, Ale."
"Kenapa lo nggak bantu ngambil?" tanya cowok setinggi 180cm itu dengan wajah datarnya.
"Kenapa lo nggak lewat aja?"
"Jangan bilang siapa-siapa soal ruang musik kemaren."
"Kenapa?" tanya Vala dengan nada meledek.
"Biar cuma lo yang tau," pungkas Ale lalu pergi begitu saja.
"Ih, dasara aneh. Lagian apa urusannya sama gue. Dasar demam panggung," gerutu Vala lalu melanjutkan langkahnya.
Ternyata setelah melawan jiwa antisosialnya dengan bertanya letak ruang guru pada salah seorang, Vala menemukannya. Terletak tepat di tengah area sekolah. Sekolah yang aneh. Motivasi apa yang membuat arsitek meletakkannya di sini.
Saat Vala masuk, suasana kantor tampak ramai. Meja-kursi sebanyak empat puluh lebih memenuhi ruangan super besar itu. Di bagian paling depan terdapat set sofa sebagai tempat guru-guru bersantai atau menonton televisi. Vala segera mencari meja dengan tanda nama yang memiliki kata Amar, sebab ia tak tahu nama lengkap guru kimia itu. Letak mejanya ada di barisan paling depan. Meja itu penuh dengan buku-buku dan kertas-kertas serta molimod yang diletakkan di dalam kotak kardus kecil terbuka. Saat Vala selesai menaruh buku, sikunya tidak sengaja menyenggol gelas kertas berisi kopi. Alhasil, kopi itu tumpah dan mengenai kertas-kertas ulangan harian.
Pastinya, Vala panik. "What the... gimana niihh? Aduh mampus." Ia celingukan memastikan tidak ada sepasang mata pun menjadi saksi kejadian memalukan dan menjengkelkan ini.
"Kenapa, Vala?"
"ASTAGA! Kaget banget!" Vala mendapati Shannon berdiri di sampingnya. "Gue nggak sengaja numpahin kopi. Gimana, nih? Mana katanya Pak Amar galak banget,"ucap Vala penuh kecemasan.
"Tenang, pas-" Belum selesai Shannon melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba Pak Amar datang dengan wajah syok. Ekspresi Vala tak kalah syok juga. Ia bersiap untuk meminta maaf dengan kedua tangan memohon.
Kumis Pak Amar bergetar. "Ke-ke-kenapa ini tumpah?"
"Anu, Pak-"
"Maaf, Pak," potong Shannon. Sontak Vala menoleh dan memandangi Shannon dengan mata melebar. "Saya nggak sengaja nyenggol kopi Bapak." Mata Vala semakin melebar, tidak percaya dengan apa yang dikatakan cewek berkulit putih bermata sipit itu.
Pak Amar memeriksa kertas basah itu sesaat. Ekspresi wajahnya berubah drastis. "Ooh, tidak apa-apa tidak apa-apa. Ini udah saya koreksi, kok. Kalian boleh keluar, kok."
"Saya bantu beresin, Pak." Vala berusaha menebus kesalahannya.
"Nggak usah nggak usah, biar saya saja. Kalian kalau tidak ada keperluan lagi boleh kembali ke kelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
AWESOME VALA
Teen FictionVala hanya ingin hidup tenang. Ia tidak ingin menjadi orang yang terlihat di sekolah. Untuk itu dia akan bersikap cuek agar tidak bermasalah dengan orang lain. Hidupnya sudah cukup rumit karena Mama. Namun yang didapatkan adalah ibu tiri yang jahat...