CHAPTER 6

23 9 0
                                    

"Se-benarnya aku ini adalah kakakmu," Jelas Leo dengan nada serius.

"Iya aku tahu,"

"Tapi yang nggak kau tahu adalah-"

"Aku adalah nenekmu," Balasku dengan ikut menggunakan nada serius.

"BUAHAHAHAH," Tawa ku menggema sesaat setelah aku mengucapkan kata kata itu kepada Leo.

"Kau mau casting sinetron?" Candaku sambil tertawa terbahak-bahak.

"Hei aku serius," Ucap Leo yang berhasil membuat tawaku terhenti.

"Hah?" Ucapku sambil menatap Leo. Leo terlihat sangat serius, terlihat dahinya ditekuk hingga menimbulkan kerutan samar. Ia memang anak yang suka bercanda. Tapi dia takkan pernah membuat candaan dengan raut wajah itu. Keheningan menyusupi kami berdua menyisakan suara angin dan rintik hujan yang mulai beradu di telinga kami. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal pertanda bahwa aku benar benar kebingungan. Sedang Leo masih menatap intens kearahku.

"Aku minta maaf karena terlalu tiba-tiba tapi,"

"Kau harus mengetahui ini, sebab ayah-" Ucapan Leo terhenti sesaat. Terlihat mimiknya mulai berubah menjadi sedih.

"Ayah sekarat," Sambung Leo sambil menundukkan kepalanya.

"Aku punya ayah?" Tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.

"Iya," Jawab Leo singkat.

"A-aku punya ayah?" Tanya ku lagi dengan mata berkaca-kaca.

"Iya, ayah sedang menunggumu di rumah," Balas Leo seraya melemparkan senyum kepadaku.

Air mata berhasil lolos di pelupuk mataku. Dengan cepat aku mengusap pipiku dengan kasar berharap Leo tidak menyadari bahwa aku menangis. Dengan sekuat tenaga, aku menahan agar air mataku tidak keluar. Namun semakin aku menahannya, ada gumpalan sesak di dadaku yang menumpuk.

"Tapi, ta jangan kasih tahu Tante Laura dulu ya," Pinta Leo.

Aku mengangguk pelan dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Kalau begitu aku duluan ya," Pamit Leo sembari beranjak menuju pintu. Aku hanya mengangguk kearahnya. Mataku mengikuti Punggung Leo yang mulai menghilang dari balik pintu. Aku terdiam beberapa saat sembari memukul pelan kearah dadaku yang nyeri. Aku mencoba untuk meragukan perkataan Leo. Namun entah mengapa aku sangat bahagia. Sepersekian detik, aku berlari menuju kamarku mengabaikan Tanteku yang sibuk membereskan dapur. Aku tahu ini salah tapi sialnya aku sangat ingin menangis. Kurebahkan badanku diatas kasurku sambil memeluk boneka pinguin kesayanganku. Tangisku tumpah seketika saat aku mulai menarik selimut dan membungkus tubuhku. Ya benar aku rindu dengan sosok orang tua. Karena kelelahan, aku terlelap sehabis menangis. Aku terbangun pukul lima dini hari. Karena ingin bertemu Leo aku bergegas bangkit dari tidurku lalu mulai memasuki kamar mandi. Aku mandi lalu memakai seragam secepat yang aku bisa. Setelah itu aku berlari menuruni tangga dan melesat menuju tanteku yang ada di dapur.

"Tan aku aja yang masak," Tawarku sambil menaruh tas sekolah ku di atas kursi.

"Iya tolong ya nak tante harus siap siap kerja," Ujar Tante Laura sambil melepaskan celemek hitam yang dipakai nya.

"Iya tan," Ucapku sambil tersenyum. Aku mulai berkutat dengan nasi goreng yang berada di depanku. Sesekali aku mencicipi nasi goreng tersebut lalu menambahkan beberapa bumbu yang kurasa perlu. Selanjutnya, aku menuju kulkas untuk mengambil dua butir telur. Aku kemudian memasak telur tersebut di sebuah teflon. Tak lupa untuk membalik permukaan telur agar matang merata. Aku akhirnya menaruh nasi goreng dan telur di sebuah piring. Kusajikan masakanku di meja makan kayu yang ada di dapur. Aku yang lapar mulai menyantap nasi goreng buatanku hingga tak bersisa.

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang