CHAPTER 8

19 9 6
                                    

Derap langkah menggema di lorong sempit itu, mengisi keheningan yang sedari tadi menyelimuti kami bertiga. Aku menunduk pasrah masih berusaha mencerna segala sesuatu yang telah terjadi. Semua ini begitu cepat, ada beribu pertanyaan yang berenang di kepalaku namun enggan ku ungkapkan. Kami bertiga berjalan menyusuri lorong sempit dan gelap. Penerangan hanya berada pada penjaga berbaju zirah yang sedang memegang obor. Ia memimpin jalan sedang aku berada di belakangnya, dihimpit oleh pria bertudung tadi. Bangunan ini tampak seperti goa dibandingkan sebuah bangunan, mungkin ini adalah salah satu kamuflase bangunan ini agar tak di curigai oleh pihak tertentu. Namun, suasana bangunan ini justru membuat rasa mencekam terus saja menyelimutiku yang kini berjalan entah kemana. Kami sampai di depna sebuah pintu kayu yang terlihat sudah lapuk. Penjaga itu membuka pintu lalu mendorongku masuk dengan kasar hingga aku tersungkur ke tanah.

"Bocah ini akan menemanimu," ucap penjaga itu sambil menunjuk pria yang tadi mengenakan tudung. Dengan langkah gontai, pria bertudung itu memasuki ruangan dan kini berdiri di hadapanku. Sesaat setelah pria itu memasuki ruangan, penjaga itu mengunci pintu masuk. Aku yang panik dengan cepat bangun dari dudukku dan menuju pintu itu.

"HEI APA YANG KAU LAKUKAN BUKA PINTU INI!" pekikku sambil menggedor-gedor pintu itu. Pria bertudung tadi tiba-tiba menghentikan gerakanku dan berkata, "tidak akan ada orang yang menolongmu nak, berhentilah."

Aku menatap pria itu dengan tatapan nanar, seolah bertanya "kenapa" padanya.

"Yah, tempat ini sangat jauh dari kota," jelas pria itu sambil mengangkat kedua bahunya. Pria itu lalu menarikku menuju sebuah kasur kumuh yang terbuat dari rerumputan dan jerami lalu menyuruhku berbaring.

"APA YANG KAU-" pekikku yang terpotong oleh penjelasan dari pria itu.

"Aku hanya akan menyembuhkanmu jangan berpikir macam macam," sergah pria itu sambil mendengus kesal dengan sikapku.

"Sebaiknya kau mengganti pakaianmu di toilet," ucap pria itu sambil memberikanku beberapa potong pakaian lusuh dari balik jubahnya. Aku mengangguk dan bergegas menuju pintu yang mengarah ke toilet. Pintu kayu itu berada tepat di sisi kanan ruangan yang berbentuk kotak ini. Aku membuka pintu kayu yang mulai reyot tersebut ditandai dengan pintu tersebut yang mulai berderit. Mataku menyapu seisi toilet yang hanya dilengkapi dengan satu lubang galian di tanah dan ember kayu yang berisi air. Pandanganku beralih menuju baju olahragaku yang kini bersimbah darah. dengan cepat aku mengganti pakaianku dengan baju berwarna putih dengan hiasan rajutan bunga. Kini baju putih berlengan panjang itu melekat di tubuhku, dengan celana panjang yang hampir menutupi mata kakiku. Aku bergegas keluar toilet dan menuju tumpukan rerumputan tadi. Aku duduk di sisi kasurku, mengabaikan pria bertudung tadi yang tengah terduduk di sisi ruangan sambil mencoba melipat tudung yang sedari tadi ia kenakan. Mataku tertuju pada selimut berwarna coklat yang berada di atas kasurku. Dengan cepat aku menyelimuti diriku dengan selimut berbahan karung goni tersebut.

"Oh kau sudah selesai!" seru pria tadi dengan sedikit tersentak. Aku hanya mengangguk menanggapi pria itu. Ia lalu berjalan kearah ku sambil menenteng jubah hitam yang sedari tadi menutupi tubuhnya. Pria itu terlihat mencolok dengan rambut berwarna merah miliknya dengan menggunakan kaos lengan panjang berwarna hitam. Kini ia berada di depanku, ia lalu jongkok untuk mencoba menyejajarkan tinggiku.

"Tidak ada kerusakan organ vital, hanya luka terbuka pada kulit luar namun aku masih harus mempercepat regenerasi sel mu karena upacara masih akan di gelar," jelas pria itu dengan wajah datar khasnya. aku hanya menunduk tanpa menghiraukan perkataannya.

"Apakah mereka melukai temanku juga?" cicitku yang masih bisa didengar olehnya.

"Tidak," jawabnya singkat.

"Syukurlah," gumamku singkat sembari menunduk.

"Baiklah sekarang aku harus menyembuhkanmu,"

"Kemarikan tanganmu," perintahnya. Aku hanya menurut dan memberikan tanganku pada pria itu. Sepersekian detik, kehangatan memendar dari tangan pria itu lalu menjalar keseluruh tubuhku. Aku yang tersentak dengan sensasi itu dengan spontan menarik tanganku dari tangan pria itu.

SAVIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang