Saudara Kembar yang Tak Pernah Ada

177 6 0
                                    

Saudara kembarku meninggal dalam kandungan.

Hanya itu yang dapat kupikirkan saat aku mendengar suara langkah kaki. Satu demi satu, derai kaki kecil, membasahi lantai keramik di dapur dan kemudian lebih pelan ketika menaiki tangga menuju kamar tidur.

Ada denting lembut dari gelombang rasa takut di antara tarikan napasku yang sedingin es.

"Halo?" Aku mencoba memanggil tetapi tak ada bunyi keluar, seolah tidak ada udara di paru-paruku. "Halo?"

Aku yakin mendengar teriakan dari kejauhan dan siur angin dingin yang membuat bulu kuduk merinding.

Satu demi satu, kaki kecil itu melangkah maju, meraba-raba. Aku dapat mengingat masa kecil bersama kedua orang tuaku yang mengasihiku. Boneka putri dan kado ulang tahun, kue tar yang manisnya menggigit dan kunjungan dokter gigi. Hangatnya sinar matahari di taman dan kesejukan kolam air mancur.

Aku bisa mengingat hari pertama sekolah dan jerit kekanak-kanakan di taman bermain yang dipenuhi orang asing.

"Apakah itu kamu?" Aku yakin mendengar suara dari kejauhan, suara yang dipenuhi rasa takut dan membuat bulu di tengkukku terangkat. "Apakah itu kamu, Dik?"

Satu demi satu, kaki kecil itu melangkah maju, dengan lembut menggesek karpet palstik tipis yang melapisi selasar di puncak tangga.

Aku ingat ciuman pertama dengan seorang cowok yang lebih dewasa tiga tahun dariku dan air mata yang kutumpahkan saat kami harus berpisah. Pendar lampu jalanan gelap berganti terang, asap pembakaran sampah dan mobil-mobil berlari kencang. Hening perpustakaan kampus saat belajar untuk ujian semester.

Cahaya bulan purnama menerobos tirai jendela di malam hari dan melukis seprei tempat tidur dengan pola cahaya melingkar di sekitar tubuh adik kembarku.

Dia terbaring di tempat tidur, tapi kini dia sepenuhnya terjaga. Dia meraihku dengan lengannya yang kurus. Diterangi cahaya bulan saat air mata mengalir di pipinya yang putih pucat.

"Adik? Adik, apakah itu kamu?"

Aku tidak yakin, apakah yang berbicara dia atau aku? Suhu kamar dingin seperti kuburan. Atau hanya aku yang kedinginan?

Aku mengulurkan tangan untuk menggenggam tangannya, tapi tembus melewatinya.

Dia menggigil, air mata membasahi pipinya. Dia berbicara dengan cepat, kata-kata mengalir dari bibirnya yang semerah delima, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.

Aku mencondongkan tubuh ke depan untuk mencoba mendengar, dan saat itulah aku melihat — atau merasakan —hawa dingin menyelimutiku.

"Adik, itu bukan salahmu. Aku akan selalu mencintaimu, "katanya berulang kali. Air mata tak henti mengalir di pipinya, berkilau di bawah sinar bulan keperakan.

"Adik kecil, ini bukan salahmu. Aku akan selalu mencintaimu."

Satu demi satu, ingatanku mulai mengkristal. Aku ingat melihatnya telanjang, bersimbah darah dan menjerit saat dia muncul dari Rahim ibu. Aku menyaksikan dia tumbuh dengan dicintai oleh kedua orang tua kami. Aku ada di sana saat dia berlari melewati taman, menampung curahan air mancur di kolam yang sejuk, saat pertama kali ke sekolah dan kemudian universitas. Kadang aku hanya berdiri untuk mengawasinya tidur. Aku berada di sana sepanjang waktu melihat adik— melihat saudara kembarku yang ada.

Ternyata, akulah saudara kembar yang tak pernah lahir.

Tulisan di Dinding (Kumpulan Cerita Misteri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang