Hantu di Pohon Ara

174 6 0
                                    

Orang tuaku memutuskan pulang ke tanah air dan tinggal di rumah warisan mendiang nenek dari mama setahun silam, dan aku baru bisa pulang bulan kemarin berbarengan dengan libur musim dingin. Tak kunyana kepulanganku membongkar catatan kelam keluarga kami.

Seharusnya hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan papa dan mama yang ke dua puluh lima. Sayang, papa meninggalkan tak lama setelah menempati rumah ini.

Rumah peninggalan mendiang nenek terletak di kaki gunung yang menjadi daerah tujuan wisata orang kota yang ingin melarikan diri dari sumpeknya kota metropolitan. Bangunan asri peninggalan Belanda yang diapit dua aliran sumber mata air yang bergemericik turun membentuk sungai besar di lembah.

Pagi sekali aku terbangun, sekitar pukul 3 pagi. Rasanya ada sesuatu yang tidak beres. Berbaring untuk beberapa saat dan kemudian memutuskan untuk turun ke dapur Tenggorokanku rasanya kering kerontang.

Malam sebelumnya turun hujan deras. Aku melihat ke luar melalui pintu kaca geser yang menghadap ke halaman belakang. Kabut tebal menyelimuti taman.

Aku mengisi gelas dengan air panas dari dispenser dan kemudian duduk di meja dapur. Melihat ke luar ke halaman melalui pintu kaca geser, aku bisa melihat pohon-pohon ara yang besar menjulang di samping pagar dan tepat di belakangnya, pegunungan samar-samar hampir tidak terlihat di balik kabut.

Saat itulah aku melihatnya.

Aku melihat hantu.

Salah satu pohon ara itu tampak bergerak. Cabang-cabangnya meliuk-liuk dan mulai membentuk sesuatu. Awalnya aku tidak yakin, tapi tampak seperti wajah manusia. Wajah seorang gadis yang cantik putih bersinar menembus kabut tebal. Kabut mengepul bagai asap sehingga ilusi yang ditimbulkan seperti menatap seseorang di bawah air.

Aku bisa melihatnya dengan jelas, tetapi tidak melihat garis yang menjadi batas tepinya. Matanya seperti menatap lurus-lurus ke arahku, dan aku bisa merasakan gejolak amarah penuh dendam di dalamnya.

Hantu itu melayang-layang untuk beberapa menit. Aku yakin dia pasti tahu kalau aku sedang melihatnya, karena tiba-tiba dia terbang ke arahku dan kemudian— dan kemudian... dia menghilang begitu saja.

Pohon ara tunggal itu meliuk-liuk bagai diterpa badai dan cabang-cabangnya kembali ke posisi semula.

Aku berdiri di sana selama lebih dari satu jam menatap kabut, menunggu hantu itu kembali. Aku bahkan tidak menyadari bahwa diriku telah berada di depan pintu geser kaca memegang segelas air yang tak lagi hangat.

Pagi saat sarapan, aku memberi tahu mama tentang hantu itu.

Saat itulah aku menangkap ekspresi aneh di wajah mama. Apakah mama takut dengan ceritaku?

"Mama belum pernah memberitahumu hal ini sebelumnya, karena Mama tidak ingin membuatmu khawatir," ujar mama sambil menghela napas panjang.

"Cerita apa, Ma? Aku bukan anak kecil lagi, kok," tanyaku.

"Dulu Mama punya kakak perempuan, sebelum kamu lahir. Sebelum Papa dan Mama menikah"

"Dia dan Mama sama-sama mencintai lelaki yang yang sama, Papamu. Kami selalu bertengkar hebat, bahkan sampai berkelahi. Dan akhirnya, ketika Papamu melamar Mama, tante Siska tidak bisa menerimanya. Dia menjadi gila."

"Kami menemukannya keesokan harinya, terayun-ayun di cabang pohon ara yang saat itu tak setinggi sekarang. Dia bunuh diri. Bukan hanya menggantung diri, dia juga menyayat pergelangan tangan kirinya. Darahnya tergenang di bawah pohon ara. Bahkan, dokter tidak bisa menentukan apakah kematiannya karena terjerat tali atau kehabisan darah. Dia tewas di pohon ara itu."

"Beberapa hari kemudian, kami menerima surat melalui pos yang dialamatkan kepada Papamu."

Mama berhenti bicara. Suaranya parau dan matanya berkaca-kaca. Saya juga hampir tidak bisa berkata-kata. Dia membuka salah satu laci dapur dan mengeluarkan sebuah amplop kecil merah jambu. "Itu dari tante Siska," bisiknya serak.

Mama menyerahkan amplop itu. Ketika aku membukanya, sehelai kertas merah jambu melayang jatuh ke meja.

Baris-baris tulisan tangan yang penuh coretan.

Sebuah puisi tanpa judul.

kuingat saat
kau ajak aku berjalan-jalan di
bawah deretan pohon ara.
yang tertiup
angin

dan aku akan selalu melihatmu
dan kau akan selalu menatapku
di antara cabang-cabang
yang tertiup
angin

sampai jumpa
di antara pohon ara.
karena aku akan

selalu mengawasimu
dari pohon ara

Tulisan di Dinding (Kumpulan Cerita Misteri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang