Bagian 9

277 191 86
                                    

"180 Degree"

_____


Sama saja, semuanya sama saja. Pertama hanya Hendery yang saya pikir menjauh. Ternyata kini saya pun memilih untuk menjauh pada akhirnya.

Setelah ingkarnya janji yang ia buat sendiri, tanpa kata maaf, dirinya juga tidak mencari tahu alasan saya menjauhinya. Hendery pikir patah hati mampu membuat saya bodoh. Tapi kata saya, jatuh cinta adalah penyebab kebodohannya selama ini.

Setelah semua layu, persahabatan yang saya agungkan selama ini sudah tidak berlaku. Saya, kamu, kita sudah sepenuhnya berubah. Janji-janji antara saya dengan dirinya berubah menjadi wacana. Kenangan yang berubah satu sama lain dalam waktu bersamaan, membuat saya bertanya-tanya apakah kita memang saling peduli?

Perasaan saya sebagai sahabatnya, apakah masih dinilai penting untuknya. Saya sudah mencoba berbagai hal untuk memahaminya.

Hendery, jika kamu tahu bahwa saya sudah mencoba berpura-pura tak peduli dan baik-baik saja. Bahkan saat kamu tidak mengatakan apapun, saya masih bisa menahannya. Namun, apakah kamu akan mengerti jika saya bilang sedang kesepian?

Bagaimana kamu akan kembali? Saya sungguh memikirkannya. Lakukanlah seperti yang biasa kamu lakukan. Mari dengan sungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik lagi.

Saya membenci diri saya sendiri karena tidak becus berpura-pura. Melihat matanya, saya tahu bahwa Hendery sudah tidak disini lagi. Mata itu sudah melihat dunianya. Dan itu Aruna.

Saya masih belum bisa terbiasa, dalam hati berkata sulit sekali. Hendery coba lihat saya lagi barang sekali, jawablah pertanyaan saya. Bisakah kita kembali seperti dulu? Terserah pada Aruna. Dia urusanmu, tapi kita masih memiliki urusan yang belum rampung ceritanya.

Hendery, bisakah kamu bertindak untuk tidak mengundang kebencian pada diri saya. Karena jujur saya tidak akan bisa. Seperti membenci kamu adalah kata terlarang bagi diri saya sendiri.

*****

Tidak terasa, waktu semakin berlalu. Saya pernah membaca salah satu quotes "Apapun masalahnya, waktu akan menjadi penyembuh sekaligus tempat untuk kita lebih memikirkan diri sendiri" dan saya pikir ada benarnya juga.


Mengingat hari-hari yang semakin sibuk menjelang Ujian Nasional, setelah jam padat saya disekolah ayah masih mendaftarkan saya kesalah satu program bimbingan belajar. Saya sih iya iya saja orangnya. Sungguh waktu luang saya hanya hari minggu.


Minggu pagi yang mendung, ayah mengajak saya pergi memancing kesalah satu tempat pemancingan milik temannya. Iya segabut itu seorang kepala keluarga Tan. Ayah dan hobi memancingnya adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Bahkan tak jarang saya mendengar bunda mengomel ini dan itu perihal hobi yang ayah tekuni.

Ayah bilang 'sekalian healing lah daripada stress sebelum ujian' jadi berakhirlah saya duduk bersebelahan dengan ayah serta tangan kami yang sibuk menari dengan kail pancing. Jangan salah, walau begini kemampuan memancing saya lebih baik dibanding kak Jeremy.


"Dek, sekarang ayah gak pernah lihat kamu sama Hendery. Berantem?". Ayah saya mengawali pembicaraan kami, ya daripada saling diam begitu katanya.

"Enggak yah, cuma lagi jauh aja. Fokus UAN dulu lah" kata saya menanggapi.

"Ayah tahu kamu pasti bisa selesaiin apapun masalahnya. Kamu tahu kan, ayah selalu percaya sama kamu dek". Ayah mengelus rambut saya, sosoknya yang tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk menceritakan masalah yang dialami dan justru lebih memberikan kepercayaan adalah sifat ayah yang saya syukuri.

Best Friend || Hendery (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang