Bagian 16

266 176 354
                                    

Tentang Ilmu Mengikhlaskan

_____


Kecupan Hendery bertahan sekiranya 10 detik lamanya. Bibirnya tidak bergerak, hanya menempel. Sedangkan saya sudah seperti balok es batu yang sangat beku tidak bergerak dan masih terpaku, bagaimana bisa Hendery sebagai orang yang sangat saya percaya dengan sengaja melakukannya.

Hendery menjadi pihak yang menjauhkan bibirnya, menatap saya penuh rasa bersalah. Saya masih tidak berkutik, seperti terpenjara di dalam gelap iris matanya. Iris sedalam palung itu seolah menenggelamkan saya di dalam kebingungan.

Bibir saya kelu, segala kosakata yang pernah saya pelajari lenyap begitu saja. Air mata saya jatuh, untuk pertama kalinya saya benar-benar merasa terluka karena Hendery.

Tetes kedua air mata saya jatuh, kesakitan itu seakan berubah sangat nyata diikuti tetes-tetes selanjutnya. Malam ini, Hendery memberikan kecacatan permanen pada kepercayaan yang saya labuhkan.

"Maaf," ucapnya lirih. Begitu lirih menyerupai bisikan dedaunan kering yang terbawa angin musim kemarau menjelang akhir Oktober. Matanya, mata itu juga menunjukkan luka yang tidak saya pahami.

Telapak tangan saya bergerak menutupi wajah, berusaha menghalau air mata jatuh yang tak berkesudahan. Namun usaha saya sia-sia, buliran bening itu tidak berhenti dan semakin menjadi.

"Vi, plis marah. Pukul gue, pukul gue pakai apapun. Pukul gue Vi. Tolong jangan diem aja. Lo boleh tampar gue. Kaya gini, lebih keras Vi," Hendery membawa tangan saya untuk menampar wajahnya. Namun tetap saja, itu bukan kehendak saya. Tangan saya hanya berakhir terkulai lemah.

Hendery membawa saya yang membisu ke dalam rengkuhannya. Semula, pelukan Hendery adalah pelukan yang membawa kehangatan dan kenyamanan yang selalu saya butuhkan. Tapi kali ini, pelukannya serasa menyayat hati. Semakin erat peluknya, semakin sakit hati saya. Mungkin ini rasanya saat kamu menggenggam kaktus. Durinya bisa menyakitimu. Semakin erat semakin pekat darah yang keluar.

"Maaf ... maaf ... gue minta maaf," kedua ibu jarinya menghapus air mata saya yang masih enggan berhenti. Saya menangis tanpa bersuara, tidak tahu lagi seperti apa caranya menunjukkan betapa Hendery memberi saya luka yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Saya menghapus sendiri bulir bening itu dengan kasar, menyekanya berulang kali. Tidak peduli jika anakan sungai itu tidak berhenti berproduksi.

"Hendery, tolong pulang dan tutup pintunya," ucap saya lemah seperti ikan yang hampir mati tanpa air.

"Plis, Vi jangan gini. Gue rela lo mukulin gue pake apapun. Jangan suruh gue pergi, gue gak bisa..."

"PERGI DERY!!! Tolong," bentakan saya melemah di ujung. Tiada energi tersisa hanya untuk membentaknya hingga akhir.

Hendery melangkah lambat, punggung kokohnya kini terlihat lemah. "Vi, bicara sama gue kapan pun lo siap," ucapnya sebelum meraih gagang pintu kamar dan menutupnya sejalan dengan langkahnya pergi.

Saya kembali menangis, kali ini lebih pilu dan menyedihkan. Tangisan tersedu-sedu di usia saya yang menjelang dewasa. Tangisan yang disebabkan oleh sahabat saya sendiri.

Mine ❤ is calling...

"Halo" suara Dejun mengalun lembut seperti biasanya.

Saya tidak mampu membalas sapaan halo darinya, justru tangisan saya semakin terasa menyesakkan.

"Babe, sekarang aku kesana!

Suara paniknya bersinggungan dengan bunyi grasak grusuk yang menggambarkan dirinya terburu-buru.

Best Friend || Hendery (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang