Bagian 10

271 197 73
                                    

Akur Lalu Bertengkar Kembali
 
_____
 

Hendery benar-benar membuktikan kesungguhannya. Mendatangi kediaman keluarga Arin demi menjemput saya pulang. Mengesampingkan egonya yang enggan bertemu Dinonara, Hendery benar-benar tidak memancing keributan atau mungkin belum. Tapi saya harap tidak. Meskipun Dino beserta kata-kata savagenya sering memicu perdebatan.
 
“Lo ngapain kesini?” Dino yang memulai. Tidak diketahui alasan mengapa Dino anti sekali dengan Hendery.
 
Hendery mendengus sebal “jemput Viana,” jawabnya singkat.
 
“Gue bisa anter." Terdengar Dino yang tidak ingin mengalah.
 
“Gue tetangganya, kita searah. Lo gak usah repot-repot." Sepertinya Hendery mulai terpancing.
 
“Dino udah, lo kesini gak? Atau gue pulang, udahan aja belajarnya," ancam saya pada anak pak Agastya. Biarpun bengalnya minta ampun. Sebenarnya Dino ini manis, penurut dan banyak tingkah lucunya. Tapi cuma berlaku pada saya, Arin, dan beberapa teman dekatnya. Dino ini anaknya susah didekati sembarang orang. Sekali bilang tidak suka pada seseorang, maka selanjutnya akan tetap tidak menyukai orang tersebut. Contoh mutlaknya ya Hendery ini.
 
Dino berjalan mendekati kami -saya dan Arin- yang masih berkutat dengan buku-buku materi.
 
“Nurut lo sama pawangnya.” Boleh tidak saya membungkam mulut Hendery? Sudah bagus Dino tidak melanjutkan perdebatan, justru Hendery yang kini memancing keributan.
 
“Apa lo bilang, coba ulangi lagi!!!" Dino menghentikan langkahnya dan hendak berbalik menuju Hendery berada.
 
Jika sudah begini, saya harus turun tangan secara langsung.
 
“Dino stop. Udah ya,” kata saya lembut. Saya meraih lengan kanannya dan membuatnya mau tidak mau kembali berjalan menuju meja dimana Arin berada.
 
“Dan lo, kalau mau ngerusuh balik aja. Gue bisa pulang naik TJ." Ucapan saya membuat Hendery murung. Barangkali terlalu kasar sehingga membuatnya tersinggung.
 
Saya mengelus rambutnya, menyugarnya kebelakang. Hendery yang semula tertunduk kini wajahnya kembali terangkat. Menampilkan senyumnya yang lebar. Senyum yang selalu indah dimata saya.
 
“Jangan ganggu Dino ya, biar kita cepet selesainya. Janji?" kini suara saya sudah saya perhalus. Hendery mengangguk senang kemudian kembali tersenyum.

 *****

Kami selesai tepat pukul 4 sore. Dino sudah melenggang pergi bersama motornya setelah berpamitan dengan Arin juga saya. Tidak melirik barang sedikit pun pada Hendery. Dianggapnya Hendery adalah salah satu guci antik koleksi milik ayah Arin.
 
Saya dan Hendery berlalu dari kediaman Arin. Berbekal mobil pinjaman milik kak Crystal, Hendery benar-benar membawa saya pergi ke kedai macaroon. Membiarkan saya memilih ini dan itu sesuai yang saya mau. Membelikan es Frappuccino yang sudah menjadi menu tetap bagi saya jika memesan minuman berkafein.
 
Kami berbicara santai dan akrab, seperti hubungan persahabatan kami tidak memiliki kecacatan sedikitpun. Saya, benar-benar menyayangi Hendery Wong. Sahabat yang akan selalu saya jaga hatinya.
 
Hendery banyak bercerita perihal Aruna, dia pernah berkunjung beberapa kali kerumah gadis turunan jawa itu. Orangtua nya baik, mereka menerima Hendery sebagai kekasih putrinya. Saya senang mendengarnya, saya lega jika keluarga Aruna menerima Hendery dengan tulus.
 
Hendery juga berkata, mereka akan melanjutkan kuliah ke universitas yang sama. Terserah kemana Aruna pergi, Hendery akan ikut demi menjaganya. Poin ini sedikit meremas hati saya. Jika sebelumnya Hendery akan pergi kemana saya pergi. Kini tujuannya sudah berubah. Kini ia memilih sendiri jalan mana yang ingin ia lewati.
 
Hendery juga bercerita, ia semakin rajin belajar. Berkat Aruna, tentu saja. Katanya, Aruna adalah sosok yang sabar mengajari Hendery berbagai macam materi. Pembawaannya dalam mengajar berbanding terbalik dengan saya. Jika saya akan langsung pada inti pembahasan. Maka Aruna akan lebih santai, mengajari juga diselingi obrolan. Itu adalah jenis yang Hendery suka. Memang, Hendery itu tidak betah terperangkap dalam mode serius. Aruna gadis manis yang ceria, sangat seimbang dengan Hendery. Saya? Hmmm hanya gadis yang lebih suka menghemat tenaga dengan sedikit bicara.
 
Hendery bilang, Aruna seperti kumpulan pensil warna. Setiap sisinya memiliki warna berbeda. Tidak seperti saya yang raut wajahnya begitu-begitu saja.
 
Saya sedikit sedih mendengarnya, sehebat apa sosok Aruna Dewi Kusumadhanti yang dibanggakan oleh sahabat saya ini. Melihatnya begitu bersemangat menceritakan kekasihnya, sedikit banyak saya mengerti, bahwa Hendery sangat serius menjalani hubungannya bersama Aruna.
 
Menyadari saya yang hanya pasif menanggapi, Hendery menghentikan ceritanya. Matanya yang tadi berbinar kemudian menatap saya.
 
“Apa?” tanya saya.
 
“Lo cerita juga dong. Dari tadi gue yang nyerocos kaya kereta api. Lo cuma ‘iya, masa? bagus dong, wah' gak ada kosakata lain ya lo? Atau lo masih marah sama gue? C'mon sissyy, lo jangan jadi ngebosenin gini deh!” protesnya. Memang saya hanya menanggapi seadanya sedari tadi.
 
Jadi saya ini membosankan baginya, saya akan catat itu.
“Lo bener mau denger gue cerita?” Hendery mengangguk girang pada akhirnya.
 
“Tapi cerita gue gak menarik, pasti lo bakal lebih bosen," Hendery kemudian menggeleng tanda tidak setuju pada ucapan saya.
 
Mungkin sekarang saatnya, sudah waktunya Hendery tahu. Bagaimana keadaan saya setelah kami lama tidak bersua. Tetangga hanya status belaka, nyatanya kami tidak bertemu untuk sebulan lamanya. Cih, apanya yang tetangga.
 
“Semenjak lo punya Aruna, gue jadi kesepian,” saya melihat Hendery, takut jika prolog cerita saya sudah merusak suasana kami. Namun terlihat Hendery sedang menunggu saya melanjutkan.
 
“Gue yang sedari kecil terbiasa sama lo, tiba-tiba kita jadi jauh. Itu yang sulit banget buat gue Dery. Jujur, gue turut seneng lo punya pacar. Dan lebih seneng lagi ternyata Aruna orangnya. Gue lega, lo bersama orang yang tepat. Hari-hari gue semakin sepi rasanya karena gak ada lo yang rusuh, gak ada lo yang berisik, gak ada lo yang care sama gue. Lo sibuk dengan dunia baru sama Aruna. Gue berusaha buat gapapa, ternyata tetap aja kerasa banget sepinya. Gue sering kedatangan pertanyaan dari orang-orang yang kenal sama lo. Mereka punya pemikiran kalau kita berantem, menebak-nebak ada apa dengan hubungan kita yang renggang. Kadang gue berpikir, kenapa mereka datangnya ke gue dan bukan ke lo. Sedangkan gue gak kenal sama mereka. Lo tahu gak gimana rasanya jadi gue?” saya diam sejenak, masih menunggu tanggapan Hendery namun saya hanya mendapatinya membisu.
 
“Beruntung sekolah semakin sibuk, gue juga masuk ke salah satu bimbingan. Gue sering pulang larut buat belajar. Gue ngisi hari dengan kesibukan, biar gue bisa lupain fakta bahwa lo gak ada lagi buat gue. Beruntung Arin sama Dino benar-benar jagain gue. Gue masih punya mereka. Pernah gue tiba-tiba mimisan dikelas, Dino juga yang bawa gue ke UKS. Dino nggak seburuk yang lo pikir, just fyi. Gue terlalu ambis jadi kelelahan.”
 
“Dery, gue sayang sama lo. Buat gue, lo adalah orang yang harus bahagia. Sekarang gue lihat Aruna jagain lo. Dan gue bersyukur karena hal itu. Jadi semua yang gue alami sekarang udah gue anggap seimbang, gue juga harus mencari bahagia gue sendiri. Lo tetep jadi sahabat gue, selama apapun itu. Jadi jangan ragu buat datang ke gue kalau ada yang bikin lo sedih sekalipun Aruna orangnya,” saya menutupnya dengan seulas senyum. Tidak tahu jika justru terlihat menyedihkan tapi saya benar-benar lega telah mengungkapkan segalanya.
 
Hendery bangkit dari duduknya, menghampiri kursi saya, selanjutnya menarik saya berdiri kedalam pelukannya.
 
“Sorry, lo jadi kesulitan karena gue. Lo jadi sedih sendirian karena gue. Gue bahagia tanpa tahu yang lo alami. Gue seanjing itu jadi sahabat lo Vivi," tangannya mengusap kepala saya, yang saya balas dengan mengusap punggung lebarnya.
 
“It’s ok Dery, semua udah selesai. Gue bener-bener lega Aruna memperlakukan lo dengan baik. Gue harap kita bisa baik-baik saja kaya sebelumnya." Saya merasakan Hendery mengangguk.
 
Kegiatan haru biru kami terhenti seiring bunyi ponsel milik Hendery yang terdengar dari balik saku celananya. Aruna menelpon, Hendery sendiri yang menunjukkan layar ponselnya pada saya.
 
“Vi, Aruna minta jemput," katanya pelan. Lalu selanjutnya yang harus saya lakukan adalah mengerti, tidak mungkin saya menahan Hendery untuk tetap bersama saya.
 
“Oh, sana jemput. Gue bisa naik TJ. Deket kok sama halte. Dan makasih sekotak macaronnya gue terima dengan bahagia,” saya tertawa setelahnya. Hanya demi tidak  memberatkan langkah Hendery menyusul kekasihnya.
 
Saya mendorong bahunya menuju pintu keluar, menyuruhnya agar segera menjemput Aruna yang ia balas dengan dua kali anggukan kepala.
 
“Gue langsung balik abis nganter doi. Kita chilling dirumah lo ya, gue beli popcorn deh buat temen Netflix," katanya sambil berjalan yang hanya saya balas dengan acungan dua ibu jari.
 
Saya kembali duduk ketempat semula, berniat menghabiskan macaroon juga es Frappuccino yang hampir tandas isinya.
 
Masih ingat jika saya adalah definisi lain dimulut lain dihati. Iya, saat saya buru-buru menyuruh Hendery menjemput Aruna, buru-buru pula kesedihan merambati hati saya.

Best Friend || Hendery (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang