Bagian 1

705 245 132
                                    

"Hujan, Hendery dan Payung bernama Kelabu"

Halo, barangkali ada yang ingin menyimak cerita saya tentang Hendery. Ialah pria dengan gelar terbanyak di dalam hidup saya, mulai dari tetangga yang rumahnya di depan rumah saya, sahabat masa kecil, sahabat saat sekolah dasar, sahabat saat sekolah menengah pertama, hingga saat ini Hendery menyandang gelar sahabat sekolah menengah atas. Dari sekian banyaknya gelar yang ia sandang, jabatan sahabat selalu saya sematkan untuk sosok Hendery.

Pernah dengar istilah 'Tidak ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan' klise memang, namun saya sangat menyangkal istilah tersebut karena saya percaya bahwa Hendery adalah sahabat abadi bagi saya.

Di sini saya ingin menarasikan seperti apakah sosok Hendery, hanya ingin berbagi kisah saya dengan dirinya. Semoga pembaca sedikit banyak memiliki gambaran tentang Hendery,  sahabat yang sangat saya kasihi.

Dia pria yang beranjak dewasa bersama saya, sikapnya sangat ceria. Senyumnya sangat indah seolah seberat apapun masalah di dunia ini asal masih ada senyum Hendery maka semua pasti baik-baik saja. Maaf jika sedikit hiperbola, namun Hendery dan senyumannya adalah candu terbaik yang tidak akan pernah mendapat predikat membosankan dari saya.

Hendery sangat berbanding terbalik dengan saya, jika Hendery laksana agungnya matahari, maka saya adalah redupnya rembulan. Hendery menyukai musim panas dan segala hiruk pikuk keramaian, jahil dan senang bersenda gurau adalah tipikal Hendery sekali. Sebaliknya, saya adalah perempuan penggemar hujan serta kesunyian. Saya benar-benar menyukai bagaimana air hujan turun membasahi bumi, airnya dengan ikhlas meninggalkan singgasananya di awan kelabu. Tidak pernah berharap kembali keatas juga tidak pernah meronta agar dipertahankan posisinya. Saya menyukai hujan namun saya membenci basah karenanya.

Ingin menyimak kisah saya tentang hujan, Hendery dan payung jingga bernama kelabu?

Hujan turun tiada ampun pada suatu sore selepas kegiatan belajar tambahan. Sebenarnya kegiatan ini wajib dilakukan mengingat ujian nasional yang akan ditempuh kurang dari 6 bulan dari sekarang, namun pria bermarga Wong putra bungsu dari 4 bersaudara itu tidak pernah mau mengikuti kegiatan belajar tambahan. Iya, Hendery orang yang saya maksud. Hendery Wong lebih tepatnya. Orang tuanya sudah menjadi pengunjung tetap bagi ruang kesiswaan akibat mangkirnya si bungsu dari kegiatan tersebut. Namun percuma saja, Hendery tetaplah Hendery. Remaja pria yang sedang keras kepala dan merasa paling benar dimuka bumi ini.

Ia dan prinsipnya bahwa belajar itu harus dengan porsi yang cukup, tidak boleh berlebihan. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Belajar berlebihan juga tidak baik. Karena mengakibatkan sirkulasi darah menjadi tidak lancar sebab berpusat di area kepala. Selanjutnya akan menyebabkan pusing yang tidak dapat diatasi dengan obat. Sebenarnya saya kurang tahu menahu apakah yang dibicarakan Hendery tersebut merupakan fakta atau hanya karangan belaka. Selebihnya saya tidak pernah mau membujuk atau sekedar menasihati sikeras kepala itu. Alasannya, menasihati Hendery itu melelahkan dan tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Sambil menunggu hujan yang tak kunjung mereda, saya menatap buliran air yang menetes dari dedaunan. Cantik sekali kalau kata saya, namun Hendery bilang saya butuh pergi bermain yang jauh untuk melihat betapa keindahan tidak hanya dilihat melalui buliran air hujan. Tapi saya terlalu malas untuk merealisasikan yang namanya “bermain jauh" seperti yang Hendery maksudkan.

Kegiatan melamun saya terganggu setelah merasakan adanya getaran pada ponsel yang saya taruh didalam saku rok.

“Aheng is calling…”

Senyum saya mengembang melihat siapa ID si pemanggil. Aheng adalah julukan yang saya berikan untuk Hendery.

“Halo Dery, kenapa?” sapaku.

“Dimana sekarang, gak liat apa lagi hujan. Gue kerumah lo tapi sepi gak ada orang.”

“Gue ya masih disekolah, kan tadi les. Iya di sini juga hujan. Ini gue lagi nunggu reda dikitlah baru ke halte nunggu bus."

“Gue jemput aja, kelamaan pake nunggu bus segala. Bentaran. 10 menit sampai."

“Oke." Lalu sambungan diputus sepihak oleh Hendery.

Tak lama setelahnya, mungkin belum genap 10 menit lamanya saya menunggu. Dari kejauhan, muncullah pria dengan kaos abu serta celana hitam yang panjangnya mencapai lutut saja. Itu Hendery, sahabat saya. Bersama payung warna jingga yang diberinya nama “kelabu" dapat hadiah lomba Agustusan tahun kemarin katanya. Jangan menanyakan korelasi antara warna payung dan nama yang disematkan oleh si empunya. Karena memang setidak sesinkron itu Hendery.

“Kebiasaan banget deh, udah tahu ini musim hujan. Segala tidak bawa payung, penyuka hujan tapi gak suka kebasahan. Gak suka basah tapi nggak mau bawa payung. Di gue ada tuh payung lipat yang muat disimpan di tas. Nanti gue ambil satu deh buat lo. Punya ce Cecil sih sebenarnya, tapi lo gak usah bilang ke orangnya. Ntar gue yang didamprat. Gue bukan ojek payung asal lo tau aja, tapi kalau lo udah tau yang barusan buat siaran ulang." Marahnya Hendery terlihat lucu sekali bagi saya. Sesampainya dia dihadapan saya, bukannya sapaan halo yang saya dapat malah sosok Hendery yang misuh-misuh.

Saya hanya menatapnya penuh kagum, bagaimana bisa orang yang baru saja memarahi saya tetap terlihat rupawan. Memang fisik Hendery Wong itu sempurna, selain rupawan Hendery memiliki kulit putih pucat dengan postur tubuhnya yang tinggi juga merupakan daya tarik tersendiri. Meskipun saya mengagumi bagaimana sosok Hendery namun saya tidak pernah memandang dirinya sebagai laki-laki dalam artian yang berbeda. Bagi saya, Hendery Wong adalah sahabat selamanya bagi seorang Viviana Tan.

“Senyum mulu, kesurupan demit pohon mangga nih kayaknya.“ Aduh hampir lupa, selain segala kelebihan fisik yang tadi saya tuturkan. Mulut Hendery ini tajam sekali, bicaranya tidak pernah dijaga. Bagi Hendery yang ia ucapkan adalah hal lumrah. Mengejek, mencibir, mengolok-olok diri saya merupakan hal yang wajar bagi persahabatan kami. Hendery yang seperti itu, saya mampu menerimanya dengan tulus.

Dibalik sifat Hendery yang slengekan, dirinya adalah sosok sahabat yang perhatian dan bisa diandalkan. Contoh mudahnya, dia akan selalu menanyakan keberadaan saya terlebih jika hujan menyapa. Hendery tahu betul kebiasaan buruk saya perihal lupa membawa payung. Dan Hendery pulalah yang senantiasa menjemput saya dimana pun saya berada. Hendery dan payung bernama kelabu diantara jatuhnya butiran hujan adalah hal yang teramat saya syukuri eksistensinya.

“Sembarangan itu mulut, pengen banget gue tabok sama ini kamus. Heran, lo jadi laki lemes banget mulutnya. Kru lambe turah nih pasti" ujar saya seraya mengangkat kamus bahasa inggris yang tebalnya dapat menyebabkan pusing jika dipukulkan ke kepala.

Hendery hanya membalas saya dengan tawanya, seperti niatan saya untuk memukulnya adalah lelucon paling lucu pada abad ini. Tapi indah juga melihat Hendery tertawa dibawah payung jingga terang itu.

“Udahlah yuk, keburu ce Cathy nyariin mobilnya. Gue bawa mobil doi tapi gak bilang.” Hendery mengulurkan tangannya untuk saya raih. Kami berjalan berdampingan di bawah payung jingga bernama kelabu saat hujan berubah intensitasnya menjadi gerimis.

“Dery, makasih ya." Nampaknya ucapan sederhana yang baru saja saya ucapkan membuat Hendery terhenyak sebentar. Lalu sesudahnya, senyuman tipis yang manis terbit di paras tampan Hendery.

“Tumbenan segala bilang makasih.” Lalu tangannya terulur merangkul pundak kecil milik saya.

Memiliki Hendery itu seperti sebuah mukjizat di dalam hidup saya. Sosok terbaik yang saya percaya setelah anggota keluarga saya.

Terimakasih Hendery.

Best Friend || Hendery (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang