1. Listen to New Student

10 4 0
                                    


Atmosfer ketegangan menghiasi setiap sudut ruangan itu. Dua manusia di dalamnya saling menatap dengan pemikiran masing-masing. Seorang laki-laki paruh baya berkumis tebal menatap seorang laki-laki yang lebih muda puluhan tahun darinya dengan tatapan penuh selidik. Di balik kacamatanya, si laki-laki muda turut tanpa ekspresi yang jelas, tetapi ia menyimpan harap, jauh di dalam lubuk hatinya.

Setelah beberapa menit hanya hening yang menggema, akhirnya si laki-laki paruh baya berdeham pelan. Tangannya bergerak mengambil sehelai kertas di meja persegi panjang yang membatasi dua laki-laki itu. Sejenak ia mengibas-ngibaskan kertas itu, keningnya berkerut cukup dalam, kumisnya yang beberapa helai ditumbuhi uban ikut bergerak-gerak.

"Kok bisa kamu kepikiran mau sekolah lagi, motivasi kamu apa?" Laki-laki paruh baya itu memperbaiki duduknya, perhatiannya kembali terfokus pada anak di depannya.

Kali ini, giliran si anak laki-laki yang berdeham. Sebelum berbicara, matanya tertuju pada sebuah pin nama di dada kiri seorang bapak di hadapannya. Bagas Anggoro M.Pd.

"Bapak tahu Zoeya Qasim?"

Bola mata Pak Bagas berkumpul ke sudut kiri. Tak lama kemudian, ia menjentikkan jari. "Yang pelakor itu, ya? Eh, maksud Bapak, yang lagi ramai diberitakan itu, kan?"

Anak laki-laki itu mengangguk. Selalu, setiap kali mendengar kata "pelakor" dilabeli untuk Zoeya, dadanya terasa seakan dirobek paksa oleh ribuan pisau tumpul. "Tapi dia nggak seperti yang diberitakan, Pak." Tangannya menarik sehelai kertas yang tertumpuk paling bawah untuk diperlihatkan pada Pak Bagas. "Bapak lihat ini, cuma ada dua orang di sini. Itu artinya, dia keluarga saya satu-satunya."

"Maksud kamu, Zoeya Qasim ini adik kamu?"

Setelah mendapat anggukan dari si anak laki-laki, Pak Bagas lantas menajamkan telinganya, berusaha mendengarkan seluruh penjelasan dari si lawan bicara dengan saksama.

Pak Bagas memijat pelipisnya. "Lilih, kamu yakin adik kamu tidak berada di suatu tempat yang mungkin kamu tidak tahu?"

"Yakin, Pak. Ini emang di luar nalar. Oh iya," Lilih mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celana jinsnya, "saya maklum kalau Bapak sulit percaya cuma dengan kata-kata, tapi saya bisa buktiin di depan Bapak sekarang juga."

Pak Bagas memerhatikan layar ponsel yang menampilkan riwayat panggilan keluar pada sebuah nomor tak dikenal.

"Ini nomor perempuan yang dihubungi oleh adik saya malam itu. Anehnya, kalau nomor ini saya hubungi lagi pakai HP adik saya ini," Lilih menggerakkan ponsel di genggamannya, "nomornya tidak dapat dihubungi, Pak."

Pak Bagas tak berniat angkat bicara sampai Lilih selesai menjelaskan.

"Tapi kalau saya telfon pakai HP saya, nomornya aktif."

Pak Bagas mengangguk-angguk. "Coba-coba, dibuktikan saja."

Lilih menghela napas. "Masalahnya, Pak, dari malam waktu adik saya hilang, saya udah terlalu banyak nelfon dia."

"Ya sudah, untung Bapak peka, pakai HP Bapak saja, berapa nomornya?" Pak Bagas mengetik nomor yang didiktekan Lilih, kemudian tanpa basa-basi ia langsung memencet tombol berwarna hijau di ponselnya.

Tak lama menunggu, terdengar ucapan salam dari perempuan di seberang. Pas Bagas melirik jam yang tertambat di dinding, ia lalu menyeringai. "Wah, ketahuan kamu, main HP di jam pelajaran."

"Ng-nggak, Pak, kebetulan emang lagi nggak ada guru. Ma-maksudnya saya lagi nunggu telfon dari orang tua—"

"Ya sudah, santai... tarik napas, hembuskan pelan-pelan. Bapak cuma mau nanya, kamu siswi yang lolos audisi Indonesian Star Singer, ya?"

Hening sejenak, barangkali ada respons berupa anggukan atau gelengan di seberang sana.

"Halo?"

"Eh, enggak, bukan, Pak. Bapak salah orang, yang lolos audisi namanya Zeca."

"Owalahhh, Bapak salah orang to. Bapak kira kamu, soalnya kamu bicara saja merdu. Yo wes, Bapak tutup ya, lanjut belajarnya."

"Oke, coba hubungi lagi pakai HP adik kamu."

Lilih langsung melaksanakan perintah Pak Bagas dan hasilnya tetap sama seperti saat pertama dia melakukan hal itu.

Pak Bagas mengangguk-angguk, ia kembali menyambar ponselnya, menelepon siswi yang tadi ia hubungi dengan satu ketukan cepat. Saat terdengar nada sambung, Pak Bagas langsung mengeklik tombol merah.

"Wah, tidak ada alasan untuk Bapak tidak percaya. Ya sudah, kamu Bapak terima."

Lilih mengucap terima kasih. Ia lantas menyalami tangan Pak Bagas dan pamit pergi setelah laki-laki paruh baya itu memberikannya petunjuk untuk mengambil seragam ke ruangan wakil kepala sekolah yang terletak tepat di sebelah ruang mereka berada detik ini.

Usai keluar dari ruangan itu, Lilih mengeluarkan sebuah ponsel dari ransel hitamnya. Tepat sesudah ia membuka pola kunci, layar ponsel menampilkan sebuah akun Facebook yang bernama Asana Irlintan. Lilih memandang sejenak nama itu, lalu beralih pada foto profilnya berupa sebuah pemandangan jalan bersalju yang seolah tanpa ujung.

***

"Lempar ke sini dong, tolong!"

Lilih menyipitkan matanya. Ia yakin teriakan barusan berasal dari seorang perempuan berpakaian olahraga yang berjarak puluhan meter darinya. Bukannya menuruti perintah perempuan itu, Lilih justru memilih untuk memantul-mantulkan bola basket yang sebelumnya menggelinding ke kakinya. Mau tak mau, si perempuan melangkah mendekati Lilih.

"Lo nggak denger, apa gima—"

Seorang perempuan yang hanya setinggi pundak Lilih menghentikan ucapannya kala ia tiba di hadapan Lilih dan mendongak. Garis wajahnya yang semula menegang perlahan mengendur. Ratusan omelan yang siap ia semburkan pada Lilih tiba-tiba lenyap hingga ia hanya mampu membisu. Yang bisa ia lakukan saat ini hanya cengengesan sembari terus menatap Lilih.

"Bro, kasih ke gue aja cepetan."

Dari sebelah kanan Lilih, muncul seorang laki-laki berambut jabrik dengan pakaian olahraga yang sama dengan si perempuan.

Dengan segera perempuan di hadapan Lilih kembali menemukan suaranya. "Jangan! Kasih ke aku—eh, ke gue aja."

Lilih belum berhenti memantulkan bola, kali ini ia menggiring bola itu menjauh dari dua orang yang memperebutkan benda bulat itu.

Lilih tiba di lapangan. Secara otomatis, beberapa orang yang ada di sana bergerak menjauh. Cowok itu melepas ransel untuk direbahkan di pinggir lapangan. "Biar adil, kalian rebut aja langsung dari gue." Kemudian ia menggiring bola mengelilingi lapangan.

Si laki-laki berambut jabrik berupaya merebut bola, sedang si perempuan hanya mengamati Lilih dengan tatapan berbinar dan decak kagum. Menyaksikan temannya hanya melongo, seorang perempuan dengan rambut digelung dan tinggi yang hampir menyamai Lilih pun bergerak menuju lapangan. Ia terus berusaha mengambil alih benda yang berada pada kuasa Lilih. Namun semakin keras ia berusaha, seakan semakin kecil pula peluang ia untuk bisa mendapatkan benda tersebut.

Lilih masih menggiring bola seraya sesekali memasukkannya ke dalam ring. Laki-laki itu bergerak lincah, kontras dengan dua orang manusia lainnya yang berlari lemah dengan napas terengah-engah. Si laki-laki pendek berdiri membungkuk sambil memegangi lutut. Selagi mengatur napas, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Matanya membulat saat melihat segerombolan laki-laki di kursi panjang depan kelas sedang tertawa terbahak-bahak sembari menunduk, memencet-mencet ponsel yang dirotasi sembilan puluh derajat. Ia lantas menegakkan tubuhnya dan berlari menuju gerombolan tersebut.

"Gue capek-capek rebut bola, lo pada malah asyik-asyik mabar di sini."

Lilih tersenyum geli mendengar teriakan si laki-laki pendek yang cempreng. Kini, lawan mainnya hanyalah satu orang perempuan. Itu artinya, pertandingan usai sampai di sini. Lilih memosisikan tubuhnya membelakangi ring. Tangannya bergerak melambung bola dan... bola meluncur mulus ke dalam ring untuk kemudian menggelinding ke luar lapangan. Buru-buru, lawan main Lilih menangkap bola tersebut beriringan dengan sorak-sorai penonton di pinggir lapangan yang didominasi oleh kaum wanita.

Just Listen or Don't?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang