9. Listen to New Truant

3 2 0
                                    


Asana tercenung mendengar ajakan Lilih. Kepalanya perlu mencerna terlebih dahulu, apakah kalimat itu benar-benar ditujukan untuknya atau tidak. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. Tidak ada salahnya "menghilang" sementara dari warga SMA Totality, agar setidaknya mereka "lupa" dengan kejadian tadi pagi.

"Tapi tas gue—"

"Udah di dalem tas gue. Hehe, sori, tadi kan lo pingsan, terus gue liat tas lo di meja piket, berhubung gue juga masih nyandang tas, jadi gue masukin aja ke dalem, daripada repot-repot bawa dua. Tenaaang, nggak gue buka sama sekali kok."

Asana mengangguk patah-patah. "Tas lo lumayan gede ya, berarti."

"Tas lo yang kecil." Lilih terkekeh. "Bentar, gue ambil dulu di UKS." Cowok itu lalu balik badan dan berlari.

Beberapa menit menjelang, Lilih kembali dengan membawa sebuah ransel hitam. Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah tas yang lebih kecil, lalu memberikannya pada Asana. Cowok itu kemudian pergi lagi guna memeriksa pintu gerbang untuk mereka bolos. Setelah dirasa aman, ia mengajak Asana mengikutinya. Mereka berjalan melewati taman, lalu ke halaman belakang toilet laki-laki. Di tempat ini banyak puntung rokok berserakan. Lagi-lagi, Asana sama sekali belum pernah menjejaki tempat ini.

"Lo sering lewat sini?" Asana memandang jeri tembok yang kira-kira lebih tinggi beberapa jengkal darinya.

Lilih menggeleng. "Kebetulan aja kemarin."

Lilih menangkupkan kedua tangannya di ujung tembok dan mengangkat tubuhnya untuk memanjat tembok itu. Asana hanya memandang bingung, sebab dirinya belum pernah punya pengalaman dalam hal panjat-memanjat.

Lilih melompat dan mendaratkan kedua kakinya pada tanah di seberang tembok dengan mulus. "San, pelan-pelan."

Dari atas tembok, muncul sebuah tangga kayu berukuran tidak terlalu besar. Asana menyambut benda itu dan ternyata tidak seberat yang ia kira. Namun ia sangsi untuk menggunakannya, karena tangga itu berlumut dan terlihat rapuh.

Saat baru saja Asana akan mulai memanjat anak tangga pertama, tiba-tiba Lilih kembali memperlihatkan batang hidungnya di atas tembok. Ia tersenyum miring dan melompat untuk mendarat di samping Asana.

"Ayo, gue pegangin. Aman kok."

Asana masih ragu. Ia khawatir yang dilakukannya ini tidak benar.

"Sori, kalau lo nggak nyaman. Gue nunduk, tenang aja."

Asana bergerak memanjat anak tangga pertama. Ia berdiam diri sana, lalu memutar kepalanya ke belakang. Ternyata benar, Lilih memegang perkataannya. Akan tetapi itu saja tidak bisa membuat Asana lega. Alhasil gadis itu melakukan hal yang sama setiap kali dirinya memanjat satu anak tangga.

Akhirnya, Asana sampai di ujung tembok. Ia menemukan bongkahan pasir yang menggunung hingga lebih dari setengah tinggi tembok. Hal itu sangat memudahkan Asana. Tanpa ragu ia melompat dan menginfokannya pada Lilih. Tak lama kemudian, Lilih menyusul. Berbeda dengan Asana, cowok itu mendaratkan kedua kakinya pada tanah di samping pasir.

Di dekat mereka ada sebuah bangunan dari kayu dan beratap rumbia. Tebakan Asana, ini adalah kedai yang sedang tutup atau memang sudah tidak lagi dibuka. Mereka berjalan terus, dikelilingi pohon-pohon beringin. Angin dingin berseliweran, menggoyang-goyangkan rambut Asana, dan menciptakan hawa sejuk yang melewatinya lubang telinganya. Setelah beberapa menit, mereka sampai di hadapan sebuah danau.

"Ini bukannya tempat yang katanya angker itu nggak, sih?" Asana mengamati sekeliling. Ia menyukai tempat ini, tetapi mengingat kata orang, ia turut tersugesti.

"Pasti itu kata mereka yang belum pernah ke sini langsung, dengar kata orang doang."

"Tapi pernah ada segerombolan cowok yang mau bolos, terus lewat sini, dan mereka liat kuntilanak, di salah satu pohon beringin." Saat mengucapkan enam kata terakhir, Asana mengecilkan volume suaranya.

Just Listen or Don't?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang