Seperti biasa, di Senin pagi yang cerah ini SMA Totality mengadakan upacara bendera. Setiap pekan, petugas upacara dipilih secara bergiliran dari setiap kelas. Kali ini, tiba giliran 11 IPS 3. Petugas yang terpilih sudah melakukan latihan hari Sabtu sebelumnya. Namun sesuatu yang mereka tidak prediksi sebelumnya terjadi. Siswi yang bertugas membacakan pembukaan undang-undang dasar 1945 mengalami kecelakaan ketika akan menuju sekolah dan mereka tidak mempersiapkan petugas cadangan.
"Kemaren kan gue udah bilang, jangan terlalu pede! Kita tetap harus pakai cadangan, nggak ada yang tau masa depan." Zainal, ketua kelas 11 IPS 3 mengungkapkan kekesalannya.
"Ya lo sebagai ketua, kenapa kemarin nggak tegas aja ngomong kalau kita harus pakai cadangan?" Anggota kelas lain memprotes.
Seluruh warga kelas 11 IPS 3 kini bergerombol di koridor dekat lapangan tempat sebagian dari mereka akan berdiri untuk menjadi paduan suara.
"Ya kalian pada mau buru-buru—ya udah, siapa nih yang mau gantiin?"
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Zainal. Mereka hanya saling sikut-sikutan dalam diam.
"Asana aja gimana? Kan belum pernah jadi petugas." Bobi menceletuk.
Asana yang mendengar namanya disebut, seketika susah payah menelan saliva, perutnya mulas.
"Lo mau, San?" tanya Zainal.
Asana ingin menjawab tidak, tapi ia sadar, bahwa dirinyalah satu-satunya yang belum pernah mendapat jatah sebagai petugas upacara. Akhirnya ia mengangguk pelan.
Setelah ditemukan pengganti, mereka bubar guna membentuk formasi masing-masing. Asana kini berdiri di samping pembaca tata tertib dengan menggenggam naskah teks pembukaan undang-undang dasar 1945. Ia tidak menyangka bahwa akan semengerikan itu melihat hamparan manusia di hadapannya. Rasa ini familier. Namun dirinya tidak menyukai itu. Ia merasa diperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Selama upacara berlangsung, Asana tidak bisa tenang. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Gemetar di tangannya dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh saat protokol membacakan giliran Asana.
Dengan kakinya yang terasa seperti jeli, Asana maju dua langkah. Ia berdeham, namun tenggorokannya terasa seperti tercekat. Percobaan pertama, suaranya tidak keluar. Walaupun serak, ia berhasil di percobaan kedua. Ketika ia membaca kalimat pertama, tubuhnya terasa memanas dan menyejuk di waktu yang bersamaan. Setelah membaca kalimat-kalimat berikutnya, ia mulai terbiasa dengan suhu tubuhnya. Namun tetap saja, pita suaranya seperti tidak bisa diajak kompromi. Suara yang ia hasilkan terkadang pelan, terkadang cukup keras, dan terkadang hanya terdengar seperti bisikan. Karena memperhatikan suaranya sendiri, Asana jadi semakin gugup. Ditambah lagi, ia merasa barisan di hadapannya berbisik-bisik dan menertawai dirinya.
Asana tidak kuat lagi. Naskah yang ia pegang terjatuh. Gadis itu berharap, saat itu pula, akan ada pusaran besar yang menyedotnya menjauh dari lapangan upacara. Asana berjongkok untuk memungut naskah itu. Saat ia berdiri, tiba-tiba semuanya menghitam, beriringan dengan kakinya yang melumer dan menyatu dengan lantai.
*
Hari ini Lilih datang terlambat. Cowok itu berbaris di barisan yang berbeda dengan peserta upacara. Ia tidak tahu-menahu tentang kehebohan "mencari pengganti petugas" yang terjadi sebelum upacara dimulai. Yang ia tahu, saat dirinya tiba, paduan suara kelas 11 IPS 3 sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya beriringan dengan bendera yang sedang dinaikkan ke ujung tiang bendera.
Awalnya Lilih acuh tak acuh. Ia hanya berdiri dengan memangku tangan dan pandangan fokus memperhatikan pola-pola di langit. Lalu ketika telinganya menangkap sebuah suara familier, Lilih langsung mengalihkan pandangannya ke sumber suara tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Listen or Don't?
Fiksi RemajaSetelah melewati pengalaman menyakitkan dua tahun silam, Asana memutuskan bahwa impiannya adalah menjadi orang biasa dengan rutinitas monoton setiap hari. Ia selalu berupaya menghindari konflik dengan siapa pun agar tidak ada yang membenci kehadiran...