Jarak sekolah ke rumah Asana tidak lebih dari dua ratus meter. Maka dari itu, setiap hari gadis itu berjalan kaki menuju sekolahnya. Begitu pula hari ini. Kali ini ia sedang berjalan memasuki gerbang seraya menunduk. Akan tetapi, Asana rasa, hari ini agak janggal. Saat baru beberapa langkah ia memasuki kawasan sekolah, tiba-tiba ada seorang murid laki-laki yang menanyai namanya, lalu murid itu tertawa sambil berjalan pergi. Di sepanjang koridor, Asana merasa seperti "diperhatikan" dengan berbagai macam sorot mata. Semakin lama, seakan semakin ramai pula yang mengawasinya. Asana menunduk lebih dalam dan mempercepat langkah.
Asana tidak tahu kapan persisnya telinganya mulai kembali terasa nyeri. Seingatnya, sejak ia menginjakkan kakinya memasuki gerbang sekolah, rasa itu telah merasuk dan semakin menjadi seiring langkahnya menuju kelas.
"San, udah cek HP, belum?"
Ketika Asana tiba di ambang pintu kelas, ia disambut dengan pertanyaan Dena, teman semejanya. Asana sempoyongan, nyeri telinganya semakin menjadi-jadi. Perlahan, Asana berupaya menstabilkan dirinya, seraya pundaknya dipegangi oleh Dena. Asana lantas mengambil ponselnya dari dalam tas guna memperoleh jawaban dari apa yang ditanyakan Dena.
"Nggak ada apa-apa..."
"Nih."
Dena menghadapkan layar ponselnya sejajar dengan wajah Asana yang spontan memundurkan wajah. Tiba-tiba pandangannya mengabur. Ia mengerjap-ngerjap dan menempelkan telapak tangan ke dinding terdekat.
"Lo nggak apa-apa? Mereka emang rada lebay sih," Dena mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas, lalu ia berbicara dengan volume lebih rendah, "tapi lo kaya pura-pura nggak tau aja."
Asana menggeleng. Dia bahkan belum melihat jelas apa yang tertera di layar ponsel Dena.
"Sini, deh." Dena mengajak Asana beberapa langkah keluar dari kelas.
"Lo. Santai. Aja. Anggap aja nggak ada apa-apa. Anggap aja yang mereka gosipin itu bukan lo."
Asana mengernyit. "Den, sori, tapi gue belum liat ada apa di HP lo. Tadi tiba-tiba kepala gue pusing."
Dena memutar bola mata. "Ya ampun! Ini." Dena menyodorkan ponselnya.
Asana sulit percaya dengan apa yang ia saksikan sekarang. Layar ponsel menampilkan percakapan grup WhatsApp yang bernama "Gibahin Cewek yang Dibonceng Anak Baru" dan yang mereka bicarakan adalah dirinya.
Dirinya! Asana Irlintan!
Asana merasa seolah sedang mengarungi lautan masa lalu, tepatnya dua tahun silam. Asana merasa lautan itu kian meluas, mengungkung dirinya yang hampir kehabisan napas. Gadis itu berupaya meraup oksigen sebanyak-banyaknya, tetapi napasnya pendek-pendek. Ia menggapai-gapai dinding guna menopang tubuhnya. Namun sebelum ia sempat, sekumpulan lautan itu kompak menghantam dirinya. Seluruhnya gelap. Asana ambruk.
*
"Bu, saya izin ke WC ya."
Ketika Lilih bersuara, mayoritas perempuan di kelas 11 IPS 3 menolehkan kepalanya ke belakang. Mereka tersenyum gembira sebab akhirnya Lilih berbicara.
"Kita belum ada tiga puluh menit masuk, Lilih. Tadi kenapa nggak ke WC dulu?" sahut Bu Fatimah, guru bahasa Indonesia yang mengajar di kelas itu.
"Tadi belum terasa, kali, Bu." Bobi, cowok bertubuh gemuk yang duduk sebaris dengan Lilih, menceletuk.
Bu Fatimah menggeleng. "Tunggu sekitar tiga puluh menit lagi, baru Ibu izinin."
Lilih mendengus. Matanya tertuju pada kursi di depannya. Tidak ada yang menduduki kursi itu. Hanya ada sebuah ransel hitam yang tersandar di kepala kursi.
"Udah kebelet ya, Bro? Bilang aja ke Ibu, bahaya kalau ditahan." Bobi berujar pelan pada Lilih.
Lilih hanya menatap Bobi datar. Benaknya masih memikirkan cara yang paling tepat agar bisa keluar kelas dengan cepat.
"Sebentar ya, Anak-Anak." Beberapa menit kemudian, Bu Fatimah melangkah ke luar kelas usai menerima panggilan telepon.
Lilih melihat itu sebagai kesempatan emas. Tanpa menunda-nunda lagi, ia langsung bergegas menuju tempat tujuannya. Di tengah perjalanannya, Lilih masih dapat menangkap suara Bu Fatimah menyoraki namanya. Tetapi tak sedikit pun laki-laki itu mengurangi kecepatan berjalannya.
*
Awalnya semua gelap. Perlahan, gelap mulai menepi. Remang-remang cahaya lampu sedikit demi sedikit menyelinap masuk ke balik kelopak mata Asana yang perlahan bergerak membuka. Gadis itu menggeliat seraya meraba kedua daun telinganya. Memang saat ini, tidak ada rasa yang kentara di sana. Namun benak Asana samar-samar mengingat bahwa ada yang terjadi dengan organ tubuhnya itu beberapa waktu yang lalu.
Kendati masih buram, Asana dapat memastikan bahwa sekarang dirinya sedang berada di brankar UKS. Selama beberapa saat, Asana hanya memandang kosong ke sekeliling, hingga matanya menangkap sebuah jam yang tertambat di dinding atas lemari obat-obatan. Ia membelalak. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Itu artinya, ia sudah terlambat masuk kelas lebih dari satu jam.
"Lo udah bangun?"
Asana tersentak. Kakinya yang baru saja ia turunkan ke lantai tergelincir akibat suara bariton yang tiba-tiba mengisi ruangan sunyi itu.
Asana mengenali suara itu. Saat ini, ia ingin menghindar dari si pemilik suara. Dengan langkah terseok seraya menahan nyeri di pergelangan kaki, gadis itu terburu-buru keluar ruangan setelah mengangguk kecil sambil menunduk.
"San, tunggu, kuping lo nggak apa-apa?"
Asana menghentikan langkahnya. Perlahan ia memutar kepala, menghadap Lilih yang berdiri di ambang pintu UKS. "K-kok lo tau?"
Lilih hanya diam, menatap Asana tanpa ekspresi. Asana seketika menggeleng dan menggigit bibir, ia ingat bahwa sebelum segalanya gelap, ia sempat menutup kedua telinganya. Wajar jika orang-orang yang berada di sekitarnya sebelum ia pingsan mengetahui hal itu. Namun apakah itu berarti, Lilih juga berada di sekitarnya saat itu?
Asana tersenyum seraya berharap mampu menularkan senyum itu ke Lilih. "Gue masuk kelas dulu, ya." Gadis itu mengangguk singkat dan kembali berjalan terburu-buru masih dengan kaki yang sedikit pincang."
Asana dapat mendengar langkah kaki Lilih mendekat. "San, bentar." Kini, laki-laki itu menyejajarkan langkahnya dengan Asana, padahal Asana sedang berupaya untuk tidak terlihat berjalan berdampingan dengan Lilih.
"Pelan-pelan aja jalannya. Bu Fatim tau kok, kalau lo pingsan."
Asana gelisah. Ia celingak-celinguk, mengamati apakah ada orang yang memperhatikan mereka.
"Lilih, lo udah liat apa yang ada di grup—" Asana tidak tahu akan menyebut grup apa. Pasalnya, itu adalah grup baru dengan nama aneh yang tidak ingin diingat—namun tetap teringat—oleh Asana
"Ada apa emangnya?"
"Em... waktu kemaren kita pulang bareng, ada yang motoin. Terus kita jadi bahan obrolan sama orang-orang itu."
"Serius? Jadi itu alasan kenapa—" Lilih menghentikan ucapannya, cowok itu lalu mengangguk. "Ya udah kalau gitu gue jalan duluan, lo bisa santai aja jalannya. Kalau mau duduk dulu di situ juga nggak apa-apa, entar gue bilangin ke Bu Fatim."
"Eh, jangan, Lih! Entar—"
Lilih mengangguk-angguk. "Sori, maksud gue, Ibu juga udah tau. Jadi lo tenang aja."
Perlahan Asana menghela napas. Setelah Lilih bergerak menjauh, cewek itu duduk di semen yang menjadi pembatas antara taman kecil dengan koridor. Segala macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Ia tidak bisa memastikan apakah perlakuan Lilih padanya termasuk spesial atau biasa saja. Asana juga tidak bisa memastikan jantungnya yang berdebar kencang kali ini terjadi akibat rentetan kejadian tidak mengenakkan yang terjadi pagi ini atau... disebabkan oleh anak baru itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Listen or Don't?
Roman pour AdolescentsSetelah melewati pengalaman menyakitkan dua tahun silam, Asana memutuskan bahwa impiannya adalah menjadi orang biasa dengan rutinitas monoton setiap hari. Ia selalu berupaya menghindari konflik dengan siapa pun agar tidak ada yang membenci kehadiran...