Malam ini, Lilih berdiri di samping pagar balkon rumahnya. Cowok itu sedikit membungkuk, melipat kedua tangannya di atas ujung pagar. Angin malam membelai lembut daun telinganya. Ia tersentak. Seketika benaknya memikirkan sesuatu. Sedetik kemudian, laki-laki itu melangkah masuk ke kamarnya yang didominasi warna abu-abu. Lilih mengambil sebuah bingkai foto di meja samping tempat tidur. Bingkai itu melingkupi kertas yang terdapat gambar seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda sedang tertawa dan menoleh ke samping kanan, tepatnya ke arah cowok yang cemberut menghadap kamera. Untuk beberapa saat, Lilih hanya diam menatap foto itu tanpa ekspresi apa pun, sebelum ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan masuk.
Setelah membaca pesan itu, Lilih mendengus. Dengan langkah berat, dia melangkah keluar kamar untuk menemui seseorang yang menunggunya di halaman rumah.
"Ada apa?" Lilih bertanya ketika telah sampai di hadapan Harlika, cewek yang mengiriminya pesan.
Harlika menggigit bibir bawahnya seraya bergumam. "Turut berduka cita, ya."
Lilih hanya memandang datar pada Harlika sembari mengangguk samar.
"Lo sendirian?"
Pertanyaan Harlika itu Lilih balas dengan anggukan.
"Nggak apa-apa?" Harlika kembali bertanya.
Lilih menaikkan sebelah alisnya. "Pertanyaan lo aneh. Gue udah biasa sendirian."
Harlika cekikikan. Rambut panjang kecokelatannya yang tergerai ia tempatkan seluruhnya ke samping kanan wajah. "Gue juga sendirian," ujarnya.
"Oh."
"Nyokap bokap gue lagi pergi. Mungkin sampai beberapa hari," sambung Harlika. Sesekali gadis itu menunduk dan mencuri-curi pandang pada Lilih.
"Oh, ya? Terus lo mau nginap di rumah gue?"
Sontak Harlika tersenyum lebar.
Lilih mendengus. "Pulang, gih. Entar cowok lo nyariin."
Harlika tertawa ringan. "Gue mana punya cowok."
"Ya udah, intinya mendingan lo cari cowok yang pake Harley." Lilih menunjuk ke garasi rumahnya. "Tuh liat, gue nggak punya Harley kaya tipe cowok idaman lo."
Harlika mengintip ke balik punggung Lilih. Tepatnya ke garasi di mana terparkir sebuah sepeda motor gigi dan sebuah mobil Honda Jazz. Ia mengulum senyum. "Nggak apa-apa. Walaupun mobil lo bukan BMW, tapi yang penting kan lo punya mobil, jadi gue nggak kepanasan."
"Makanya, kalau jalan pas malem. Gue masuk dulu ya, baik-baik lo pulangnya."
Tanpa menunggu respons, Lilih langsung balik badan dan mengabaikan Harlika yang berteriak-teriak memanggil namanya.
Kini Lilih telah menginjak kembali balkon kamarnya. Dapat ia saksikan Harlika misuh-misuh sambil menempelkan ponselnya ke telinga dan menoleh ke kanan-kiri. Lilih tersenyum miring.
Beberapa saat kemudian, cowok itu mengeluarkan ponselnya dari saku sembari tetap mengawasi Harlika di bawah sana. Lilih membuka aplikasi Instagram. Jemarinya mengeklik tanda tambah di bagian bawah layar. Ia lalu mengambil sebuah foto dan membagikan foto tersebut lengkap dengan keterangan.
Beberapa menit setelahnya, sebuah notifikasi muncul dari bagian atas layar ponsel Lilih. Beberapa komentar masuk ke akun Instagramnya dan ada sebuah yang terlihat mencolok di mata Lilih.
Kalau keempat hal itu udah terlanjur ngerusak hubungan kita sama seseorang gimana, Min?
Lilih memandang lama kalimat itu. Ia berniat mengetik balasan, tetapi urung. Selanjutnya yang ia lakukan adalah membaca kembali tulisan pada foto yang ia bagikan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Listen or Don't?
Teen FictionSetelah melewati pengalaman menyakitkan dua tahun silam, Asana memutuskan bahwa impiannya adalah menjadi orang biasa dengan rutinitas monoton setiap hari. Ia selalu berupaya menghindari konflik dengan siapa pun agar tidak ada yang membenci kehadiran...