Rabu, tanggal dua belas September. Kalau bisa, rasanya Asana ingin memusnahkan hari dan tanggal ini dari dunia. Jika tidak bisa keduanya, setidaknya salah satu saja. Jika tidak hari, tanggal pun jadi.
Di hari Rabu ini, jika bel pulang sekolah berbunyi, seperti biasa, Asana harus menelungkupkan satu per satu kursi di 11 IPS 3 ke atas meja untuk kemudian mengambil sapu dari belakang pintu dan mulai membersihkan seisi kelas seorang diri. Asana kesal, ia tidak berdaya untuk meminta keadilan, sebab ia merasa lebih baik berada dalam ketidakadilan dibanding harus menimbulkan keributan yang berpotensi menciptakan permusuhan.
Setiap Rabu, Asana sengaja tidak buang air kecil ketika jam istirahat—seperti yang biasa ia lakukan di hari-hari biasa—sebab ia akan ke kamar mandi setelah bel pulang berbunyi guna menunggu teman-temannya mengosongkan kelas.
"Lho, lo... belum pulang?"
Rabu-Rabu sebelumnya, Asana tidak lagi melihat satu pun orang di kelas, sekembalinya ia dari kamar kecil. Namun di Rabu kali ini, ada satu orang yang di Rabu-Rabu sebelumnya memang belum bersekolah di sini. Ya, siapa lagi kalau bukan Lilih.
"Belum. Lo?" Lilih berujar santai sembari tetap asyik membaca buku tebal di meja.
Asana penasaran dengan judul buku tersebut, tetapi ia takut Lilih keberatan jika ditanya. "Gue piket." Asana harap, dua kata itu bisa membuat Lilih peka untuk segera berkemas.
Harapannya ternyata tidak terwujud. Lilih hanya manggut-manggut tanpa mengubah aktivitasnya.
Asana menghela napas. Gadis itu akhirnya mulai menelungkupkan kursi-kursi di barisan dekat dinding yang berlawanan dengan barisan kursi Lilih.
"Lo piket sendirian?"
Tidak mengira Lilih akan berkata sesuatu, tangan Asana sampai terjepit pantat kursi dan meja saking kagetnya.
"Iya," Asana berusaha menyembunyikan ringisannya, "eh nggak sih, Kimberly tadi buru-buru, Agus emang nggak masuk hari ini, Beni kayanya udah pulang duluan."
Asana mengesah dalam hati. Kursi-kursi itu jadi terasa lebih berat akibat insiden yang menimpa jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
"Biar gue yang ngangkatin kursinya. Lo nyapu aja." Tanpa menunggu sahutan, Lilih langsung bergerak merealisasikan apa yang ia tawarkan.
Asana menunduk. Diam-diam ia tersenyum. Hatinya menghangat. Asana sering merutuk dirinya karena mudah tersentuh hanya dengan kebaikan kecil. Rutukan itu sering pula ia bantah sebab kebaikan sekecil apa pun yang ia terima memang pantas disyukuri. Setidaknya, kebaikan hari ini membuat hari Rabu-nya terasa lebih baik setelah tiga bulan dan tanggal dua belas, bulan September-nya terasa lebih baik setelah dua tahun.
***
Bahagia bagai bayi saja
Ia rasa tak kuasa bicara
Ia rasa tak kuasa berpindah raga
Ia rasa tak kuasa melenyapkan dahaga
Kecuali kala cinta menggerakkan ia
Kecuali kala sebuah lembut menyapanya
Kecuali kala bahagia tumbuh dewasa
Bahagiaku masih belia
Aku butuh cinta
Agar bahagiaku mampu mengalahkan lara
Asana berbaring menelungkup di kasurnya sembari menari-narikan pena di atas buku kecil. Usai menulis baris terakhir puisinya, ia mengigit-gigit ujung pena. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, hari ini Asana menulis bersama rona cerah di wajahnya. Kendati belum sepenuhnya "sembuh", tetapi ia merasa sedikit mengalami kemajuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Listen or Don't?
Fiksi RemajaSetelah melewati pengalaman menyakitkan dua tahun silam, Asana memutuskan bahwa impiannya adalah menjadi orang biasa dengan rutinitas monoton setiap hari. Ia selalu berupaya menghindari konflik dengan siapa pun agar tidak ada yang membenci kehadiran...