2. Listen to New Introduction

5 4 2
                                    

"Ssst!"

Rani menghentikan aktivitasnya menyalin catatan di papan tulis dan menoleh ke seseorang yang memanggilnya dengan berbisik. Orang tersebut menunjuk layar ponselnya sembari komat-kamit. Rani mengerti. Cewek itu meraih benda pipih miliknya di laci meja.

Ada puluhan pesan masuk dari grup kelas 11 IPS 3 di WhatsApp. Rani membuka sebuah foto, yaitu pesan yang pertama kali masuk hari ini. Untung saja Rani segera membekap mulutnya yang nyaris berteriak saat menyaksikan apa yang terpampang di layar ponselnya. Gambar seorang laki-laki bertubuh tinggi dan atletis memakai kemeja motif garis berpadu dengan celana jins. Laki-laki itu terlihat sedang bersiap melempar bola basket untuk dimasukkan ke dalam ring, namun dengan posisi membelakangi ring tersebut.

Beneran valid nih, bakal masuk 11 IPS 3?

Ya ampun, kena cahaya matahari gitu jadi tambah ganteng dooong.

Gila ini maksudnya Song Kang sekolah di sini, gitu?

Itu dia masukin bola madep belakang, masuk nggak tuh kira-kira?

Masuk dong, nih gue ada videonya.

Halah, lebay lo pada. Yang ginian mah, gue punya banyak.

Punya banyak FOTONYA di kamar lo.

Hehehe, jangan ngegas dong, Mbak.

Begitulah isi beberapa pesan yang terbaca oleh Rani. Ia belum puas menatap keindahan wajah lelaki di foto itu. Alhasil, tangannya kembali menggulir layar dari atas untuk membuka kembali foto tersebut. Ia senyum-senyum sendiri, membayangkan dirinya akan jadi tokoh utama pada sebuah cerita percintaan antara seorang gadis dan anak baru di kelasnya.

Awalnya halusinasi Rani berjalan lancar. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada sebuah tangan yang merebut paksa ponselnya. Rani ingin memaki, namun segala makiannya tertelan setelah dirinya melihat siapa yang kali ini melotot di hadapannya.

"Boleh bawa HP, tapi tidak untuk mengabaikan mata pelajaran saya. Pada liat apa sih?" Bu Reno, guru berhijab dengan sanggul besar di belakang kepalanya telah menggenggam lima buah ponsel hasil sitaan dari siswi-siswi yang tidak bisa menyembunyikan kehebohannya pasca menerima kabar dari grup.

"Bakal ada anak baru katanya, Bu." Tono, yang tidak tertarik namun turut memerhatikan kehebohan yang terjadi akhirnya angkat bicara setelah Bu Reno bertanya untuk kali yang kedua.

"Serius, kok saya nggak tahu? Ya sudah, biar belajarnya aman, semua HP ditaruh dulu di meja saya."

"Yang cowok juga, Bu?" tanya Tono.

"Semuanya," tegas Bu Reno.

Setelah perintah Bu Reno terlaksana sepenuhnya, situasi kelas kembali kondusif. Tak ada yang bersuara kecuali ketukan spidol pada papan tulis.

Ruangan itu sunyi, memang. Tetapi diam-diam, seorang gadis berambut sebahu yang duduk di barisan paling belakang masih kepikiran dengan sosok si anak baru itu. Seperti apa rupanya, sampai menciptakan kehebohan seantero kelas? Ah... gadis itu adalah satu-satunya siswi yang tidak mengecek ponsel. Ia sedikit trauma sebab beberapa jam yang lalu tertangkap basah oleh kepala sekolah—kendati tidak secara langsung—sedang bermain ponsel di jam pelajaran. Karena ketidakberaniannya itu, kini ia justru dirundung rasa penasaran.

Seakan tidak tega membiarkan gadis itu larut dalam penasaran yang teramat, beberapa menit kemudian semesta segera menghadirkan sang objek yang ingin si gadis ketahui.

"Assalamualaikum." Seorang laki-laki dengan seragam putih abu-abu yang masih terlihat sangat baru hadir di ambang pintu kelas.

Secara otomatis, beberapa siswi kelas 11 IPS 3 menjerit manja beriringan dengan jawaban salam dari Bu Reno, para siswa, dan siswi-siswi yang merespons dengan "waras".

"Nah, ini nih, Bu, yang kita maksud tadi," beritahu Siti, salah satu cewek yang turut menyumbangkan pekikan membahana dan langsung tutup mulut usai mendapat pelototan dari Bu Reno.

Bu Reno tak begitu mendengarkan Siti. Guru Bahasa Indonesia itu langsung menyuruh si anak baru untuk masuk dan memperkenalkan diri.

Hanya perkenalan singkat tentang nama dan asal sekolah. Si anak baru menanggapi pertanyaan tentang nomor telepon dan status hanya dengan senyum singkat.

"Bagus, Lilih, yang nanya-nanya nggak penting mah, nggak usah dijawab ya."

Lagi-lagi, Lilih hanya tersenyum singkat menanggapi kalimat dari Bu Reno. Setelah itu, ia dipersilakan duduk di bangku paling belakang dengan memilih kursi di dekat dinding bagian kanan atau kiri, sebab ada dua bangku tersisa.

Lilih berjalan menuju bangku dekat dinding yang sebaris dengan pintu. Ia duduk tepat di belakang Asana, gadis berambut sebahu yang sebelumnya penasaran akan si anak baru akibat tidak berani mengecek ponsel.

***

"Ya, Pemirsa, sekarang saya sudah berada di depan sebuah indekos yang menjadi kediaman Zoeya Qasim."

Layar televisi itu menampilkan seorang wanita berseragam hitam sedang berbicara menggunakan mikrofon berlabel sebuah acara infotainment di salah satu stasiun TV swasta. Wanita itu berada di depan rumah bercat hijau dengan teras yang cukup besar.

"Baik, jadi, Ibu Lina ini adalah pemilik indekos yang ditempati oleh Zoeya Qasim. Bagaimana, Bu, apakah benar Zoe telah menghilang selama kurang lebih dua minggu alias semenjak berita itu beredar?"

Kali ini, reporter itu ditemani oleh ibu-ibu bertubuh gemuk dan memakai daster motif batik.

"Iya, betul, waktu itu pagi ya. Ya... biasalah, saya lagi periksa-periksa, lewat-lewat aja di depan pintu kamar. Biasanya Zoeya pagi-pagi udah siap-siap mau berangkat ke manaaa, gitu, tapi waktu itu kamarnya dikunci. Saya panggil, nggak nyaut-nyaut, kirain masih tidur. Nyampe siang, tanya sama anak-anak lain, katanya Zoeya masih belum keluar. Pas sorean baru deh, kita pakai kunci cadangan, ternyata udah kosong kamarnya."

Ternyata udah kosong kamarnya. Kata-kata itu terasa sangat emosional bagi Lilih. Kata-kata itu seolah menampar keras dirinya bahwa keegoisan dan gengsi yang berlebihan tak akan berguna selain menyerang kembali dirinya sendiri.

Sejak ia menonton berita tersebut beberapa hari yang lalu, kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh si reporter dan ibu-ibu berdaster senantiasa terngiang di telinganya. Kalimat demi kalimat tersebut selalu berputar-putar dalam kepala Lilih tanpa ada yang kuasa menekan tombol pause.

Tanpa sadar, Lilih mengepalkan kedua telapak tangannya begitu dalam sampai kuku-kukunya mencipta jejak di telapak tangannya. Ia berdeham ketika perasaan ganjil mulai ia rasakan. Tangannya yang terasa kaku ia keluarkan dari laci meja dan ia gunakan untuk menepuk bahu Asana yang duduk di depannya.

"Punya pena dua, nggak?" Entah mengapa pertanyaan itu yang menjadi alibinya, padahal jelas-jelas ia memiliki pena di dalam tas.

"A-ada. Bentar."

Beberapa saat kemudian, Asana meletakkan penanya di meja Lilih dan disambut ucapan terima kasih oleh cowok itu.

"Kalau nama, punya?"

Lilih tersenyum geli menyaksikan respons Asana yang sedikit "berlebihan" hanya karena sebuah pertanyaan sederhana seperti itu. Mata bulat Asana yang dihiasi bulu lentik mengerjap-ngerjap lucu. Bibir tipisnya terbuka sedikit seolah ia sedang berusaha mencerna tafsiran dari pertanyaan Lilih.

"A-ada."

Lilih mengangkat sebelah alisnya.

"Asana. Maksudnya nama gue Asana," ujar gadis itu, dengan suara napas seperti baru saja lari marathon. "Gue ngadep depan lagi ya, entar takutnya Ibu marah kalau kita ngobrol."

Lilih mengangguk. Entah bagaimana, seperti adayang menarik kedua sudut bibirnya agar tersenyum lebih lebar.

Just Listen or Don't?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang