Lentera Gulita. Gadis berumur 16 tahun yang kehilangan masa remajanya. Di saat teman sebayanya menghabiskan masa tiga tahun untuk mengukir kisah di bangku SMA. Tapi, Lentera justru menghabiskan masa-masa itu di dalam ruangan yang gelap dan engap. Ru...
Happy reading! Jangan lupa vote dan share ke temen-temen kalian ya! Enjoy, semoga kalian suka sama cerita MPP ini❤❤
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alwi memasuki rumah dengan wajah suntuk serta lelah. Berkali-kali mengembuskan napas kasar. Namun, ada perasaan lega setelah ia bertatap langsung dengan Lentera dan memahami apa yang gadis itu derita. Meskipun tidak secara keseluruhan. Setidaknya, Alwi tahu, masa lalu gadis itu memang berat. Sangat abu-abu dan menjerat kalbu.
"Hei, kamu baru pulang?" tegur suara bariton dari sudut ruang tamu. Papanya tengah berdiri mengenakan kaus oblong. Baru saja membenarkan letak guci baru koleksi istrinya.
"I'm sorry, Antari." ungkap Alwi. Ia meletakkan Jas Dokter dan tas kerjanya. Lalu ikut gabung bersama Antari. "Apa yang kamu tonton?"
"Drama korea, mau nonton juga nggak?" sahut Antari.
Alwi menggeleng. Ia mengusap puncak kepala Antari. "Saya butuh istirahat, baby." ucap Alwi sembari mengulum senyum.
Antari mencebik. Ia duduk sembari merapihkan poni kusutnya. "Tidur di sini aja. Mandi di sini, nanti Antari ambilin baju deh. Gimana?"
"Boleh." Alwi tersenyum. Segera menuju kamar mandi. Namun sebelum masuk, ia menoleh. "Nanti gedor aja kalau udah bawa bajunya."
"Oke!"
***
Alwi menguap, merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa kaku. Setelah menemani Antari menonton, dan sempat tertidur akhirnya Alwi memilih pindah kamar. Ia merasa kurang nyaman tidur di kasur Antari. Lagi, gadis itu kalau tidur terlalu aktif.
Laki-laki itu membasuh wajah lalu duduk di sofa kamarnya. Menyempatkan menelisik jam dinding, pukul 01.30 wib. Ia mendesah berat. Merebahkan kepalanya yang terasa pening. Lantas ia meraih ponsel yang sebelumnya ia letakkan di atas meja.
Sebuah notifikasi pesan dari seseorang meleburkan rasa letihnya. Netranya melebar bersamaan dengan gerakan menegakkan punggung.
Alwi menelponnya, memastikan semua baik-baik saja. Ini bukan kali pertama ia memberanikan diri menghubunginya. Tidak tanggung-tanggung, Alwi juga pernah bertemu namun ia hanya bisa menatap dari jauh, tersenyum untuk meredamkan rasa bersalahnya.