35. Jadi, sebenarnya?

211 27 9
                                    

Hai, pembaca setia My Perfect Psikiater 🌷🌷

Apa kabar kalian?

Terimakasih karena masih nunggu aku update, ya meskipun nunggunya sampe lumutan, tapi aku sayang kalian.

Dikarenakan kalo nulis cerita ini harus ngumpulin stok energi yang buanyaakkk, jadi lumayan lama lanjutannya. Fyi, setiap ngetik tentang Lentera aku harus dalam keadaan baik2 aja, enggak lagi banyak beban pikiran, enggak lagi dalam keadaan setres ringan, itu sebabnya aku harus extra hati hati.

Semoga part demi part yang aku dedikasikan untuk kalian semua, bisa diterima dengan baik dan kalian mengambil sisi baiknya juga. Tks, with love, isti. 🌷🐼

***

"Apa ini alasan Papa selalu mengulur waktu membawa kasus Lentera ke meja hukum?" datang dengan amarahnya. Alwi mendesak Papanya yang saat itu sedang sibuk bekerja. Sepeninggalannya dari ruangan Dokter Gavin, laki-laki dengan sebutan Psikiater muda itu bersiap mengobrak-abrik isi ruangan Papanya. Ia berjanji untuk mengusut tuntas persoalan Lentera kemudian siapa Gavin Erlangga yang sebenarnya.

"Loh, kamu kenapa? Datang datang kok ngamuk begini." ujarnya heran. Ia melepas kacamata bulatnya, menghadap anak kebanggaannya lantas memegang pundak untuk memenangkan. Barangkali itu bisa reda meskipun dilihat mustahil karena tatapan Alwi sangat nyalang.

"Cepat katakan di mana data diri Dokter Gavin yang sebenarnya," ucap Alwi.

"Semua data diri Psikiater ada di ruangan kamu." kata Ikhwan. Masih berusaha memahami situasinya.

"Saya butuh data yang asli, Papa sembunyikan di mana?" ujarnya memaksa.

"Untuk apa?" melihat raut wajah anaknya tidak bersahabat, Ikhwan lantas terhanyut di dalamnya.

"Dari kapan Dokter Gavin bekerja di sini?" tanya Alwi.

Ikhwan menunduk, ia memikirkan jawabannya. Kemudian ia tatap anaknya dalam dalam. "Beliau bekerja di sini baru satu tahun, tepat di bulan ini." ungkap Ikhwan. Diraihnya lengan anaknya, digenggam kuat kuat. "Apa kamu mengetahui sesuatu? Kenapa sampai seperti ini?"

"Kenapa dari data diri yang tertulis, beliau sudah tiga tahun di Kasih Beta? Untuk apa menyembunyikan hal semacam itu, Pah?" kata Alwi gusar.

"Data diri itu hanya formalitas, pada dasarnya orang-orang tahu beliau memang baru satu tahun di sini," Ikhwan memijat pelipisnya. Dirasa pening hari harinya di penuhi dengan masalah Kasih Beta beserta kasus Pasien-pasiennya.

"Orang-orang juga tahu kalau beliau ada riwayat kejiwaan?" tanyanya. Wajahnya merah dengan sorot mata dingin.

"Iya, semua Atasan kamu di sini mengetahuinya. Hanya saja mereka bersikap normal, jika kamu mendapati beberapa terlihat panik dan cemas dengan sikap Dokter Gavin, maka itu hanya formalitas."

Alwi menggeleng tak percaya. Selama ini ia tahu Atasannya banyak yang mendukung usahanya untuk melindungi Lentera dari Dokter Gavin, mereka juga yang ingin Lentera cepat pulih kemudian Dokter Gavin di penjarakan atas tindakan kekerasannya terhadap Lentera. Tapi, ia justru seperti anak ingusan yang bodoh, fakta-fakta yang sebenarnya baru terungkap sekarang.

"Jadi, sebenarnya?" tatapan Alwi masam. Ia merasa sangat awam padahal seharusnya mengetahui semua hal yang ada di Kasih Beta. "Lalu kenapa Dokter Gavin tetap bisa bekerja di sini? Sedangkan beliau tidak cukup sehat untuk menjadi Psikiater."

My Perfect PsikiaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang