12. Mari Bekerja Sama

939 132 25
                                    

Masih nunggu cerita ini update kan?

Mari ber-overthingkhing bersama di chapter ini.

***

"Al, ada masalah di Rumah Sakit? Kenapa pulangnya larut malam akhir-akhir ini?" Papanya mengusik lamunan Alwi yang saat itu berdiri menatap luar dari balik jendela ruang tamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Al, ada masalah di Rumah Sakit? Kenapa pulangnya larut malam akhir-akhir ini?" Papanya mengusik lamunan Alwi yang saat itu berdiri menatap luar dari balik jendela ruang tamu.

Alwi mengedikkan bahunya. Ia sudah pernah membahas Dokter Gavin dengan segala gerak-gerik yang mencurigakan namun Papanya tidak menyukai hal itu. Jadi untuk membicarakan lagi mengenai apa yang sudah Alwi buktikan perihal cairan bius dan data Lentera beserta Suster Almira sebagai jawaban dari rahasia lain pun enggan Alwi jabarkan.

Ia ingin menguaknya sendiri. Membuktikan pada semua orang bahwa Dokter Gavin bukan sebaik-baiknya psikiater. Ia juga ingin Lentera terbebas dari ketakutan dari orang-orang terdekatnya termasuk trauma yang ia derita.

"Bagaimana perkembangan Sela?" tanya Papanya.

"Cukup baik, dia mulai mau diajak bicara. Dia juga ingat siapa dirinya dan dimana dia sekarang." jawab Alwi.

Ikhwan manggut-manggut. "Lalu, bagaimana dengan Lentera?" tanyanya.

Alwi mengembuskan napas. Ia menunduk memasukkan kedua lengan pada saku celana boxernya. "Itu bisa Papa tanyakan ke Dokter Gavin. Alwi nggak begitu menangani Lentera, hanya beberapa kali." ujarnya.

"Papa kira kamu dekat dengan gadis itu," sahutnya dengan lirikan pada anak semata wayangnya.

"Nggak begitu dekat," timpal Alwi.

"Tapi nggak jarang Papa lihat kamu bersama gadis itu, bahkan pernah menjadi penenang saat gadis itu ingin bunuh diri." ucapnya.

"Kebetulan, lagian Alwi ingin bersikap sebagaimana psikiater bertindak. Alwi rasa Lentera memang nggak hanya membutuhkan sosok seperti Dokter Gavin yang lebih pro dari Alwi." ungkap Alwi.

"Tapi?" sahut Papanya.

"Lentera juga butuh orang seperti Alwi." balasnya.

"Iya." Ikhwan mengangguk yakin. "Gadis itu butuh sekali laki-laki sepertimu yang akan menggali traumanya lagi lalu dia akan belajar lupa dan bisa sembuh."

Alwi tercenung. Menatap Papanya dengan penuh harap. Ingin sekali ia mengatakan 'ayo kerja sama' tapi tidak untuk sekarang. Alwi ingin menyelesaikan secara diam-diam.

My Perfect PsikiaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang