Lentera Gulita. Gadis berumur 16 tahun yang kehilangan masa remajanya. Di saat teman sebayanya menghabiskan masa tiga tahun untuk mengukir kisah di bangku SMA. Tapi, Lentera justru menghabiskan masa-masa itu di dalam ruangan yang gelap dan engap. Ru...
"Agar cahaya lentera bersinar begitu terang, ia membutuhkan sebuah kegelapan." — Alwi Dian Ikhwani.
-My Perfect Psikiater-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mari, Pak." anggukan ramah dari lalu lalang Suster membuat Alwi membalas dengan gerakan serupa disertai senyuman. Hari ini ia tidak lembur. Data pasien yang akan ia tangani sudah ia copy ke laptopnya sendiri lantas berkas-berkas yang membutuhkan tanda tangannya juga sudah ia selesaikan.
Tepat pukul 20.00 wib. Alwi dengan penampilan yang sudah tidak serapih tadi pagi—kemeja lilacnya tergulung sampai siku. Lalu ia meletakkan Jas Dokternya pada lengan. Ia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan pencahayaan yang temaram. Alwi harus segera pulang, lantaran Antari sudah menelponnya berkali-kali untuk ditemani menonton drama korea.
"Malam, Pak, hati-hati di jalan." titahnya seraya tersenyum. Alwi mengangguk sekilas namun tetap dengan raut ramahnya.
Ia menghentikan derap sepatunya. Keningnya berkerut ringan. Sejauh mata memandang, sosok berpakaian putih itu mengusik penglihatan Alwi. Duduk seorang diri di kursi taman.
Takut kalau-kalau itu seorang pasien, tentu saja akan mengalami kedinginan, atau bisa sakit karena berlama-lama berada di luar. Dan lagi, bukannya setiap pasien sudah harus berada di ruangan dari pukul 16.00–18.00? Alwi mendekat dengan langkah yakin. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada pasien tersebut.
"Mama, aku kangen, Papa ... aku ingin dipeluk olehmu."
Alwi reflek terhenti, mengurungkan niatnya untuk menyentuh pundak itu. Kedatangannya sama sekali tidak membuat gadis itu terusik. Alwi mengedar sekeliling, tidak ada Suster pendamping. Mengapa seorang Lentera berada di luar sendirian? Bagaimana bisa ia meloloskan diri dari rantai yang mengikat tangan dan kakinya?
"Senjana yang bantu lepasin rantai di kaki dan tanganku, aku langsung ke sini nganter Senjana pulang. Kapan mama sama papa kemari?" gumamnya dengan pandangan lurus. Rambut panjangnya berkibar ringan oleh sumilir angin malam. Alwi tetap berdiri di sana. Menunggu gadis itu selesai menyuarakan isi hatinya.
"Aku juga pengin kuliah seperti Senjana, tadi dia pakai Almamater kebanggaannya. Dia sangat menyukainya, dia juga bercerita kalau teman kelasnya menyenangkan. Di Fakultas Psikologi yang dia ambil, Senjana juga menemukan cowok tampan. Senjana menyukainya."
Alwi jadi ingat, dulu saat ia baru saja memasuki Universitas yang menjadi pilihan Papanya. Alwi menolak lupa bagaimana teman-teman barunya begitu baik dan satu frekuensi. Saat itu hati Alwi tengah hancur karena meninggalkan kekasih tercintanya. Tapi dengan bertemunya teman-teman seperjuangan, Alwi bisa menyembuhkan sakit hatinya. Tapi, hal itu tentu saja tidak sepenuhnya menyembuhkan. Karena pada dasarnya, yang lebih terluka adalah Hanny. Perempuan hebat, cantik dan yang paling Alwi cintai.