PACAR ROYAL

191 13 0
                                    


Sepulang kerja, Zuki sering mampir ke toko grosir milik Munaroh. Menemani gebetan yang sedang asyik memunguti tumpukkan rupiah. Lumayan menggiurkan rupiah yang didapat Munaraoh dari hasil grosir itu.

“Yang, kita makan bakso depan itu, yuk!” Munaroh menunjuk bakso di seberang jalan. Tampak rame.

“Boleh,” sahut Zuki mengiyakan.

Mereka beriirngan bergandeng tangan menyeberang jalan. Tak berapa lama pesanan bakso buntel dan bakso lobster tersaji dengan dua gelas es teh manis.

“Enak kan?” taya Munaroh yang senang Zuki makan denga lahap.

“Iya, enak,” sahut Zuki blepotan mie. “Belum pernah aku makan bakso seenak ini.”

“Emang belum pernah kemari?”

“Belum.” Zuki menggeleng.

Munaroh mengelap mulutnya dengan tisu setelah bakso dan minumannya tandas.

“Bang, bakso sepuluh mangkok ya!” pesannya yang langsung diiyakan oleh abang tukang bakso.

“Buat siapa?” tanya Zuki yang sudah menghabiskan satu mangkok baksonya.

“Buat pekerja.”

“Royal banget kamu sama pekerjamu?” tanya Zuki.

“Biar mereka semangat kerjanya.”

“Jangan sering-sering, nanti rugi lho kamunya!” pesan anak Romlah lagi.

“Anggap saja sedekah,” sahut Munaroh dengan senyum.

“Bang diantar ya ke toko!” Munaroh membayar semua bakso lalu pulang diantar Zuki.

Zuki mengantar pulang Munaroh ke rumah. Seperti biasa , ia selalu melajukan motor maticnya bak keong agar bisa berlama-lama dengan sang gebetan. Lagian Munaroh itu punya kebiasaan melingkarkan tangan ke pinggang Zuki tanpa jarak. Sehingga punggung Zuki dan badan bagian depan Munaroh saling bersentuhan.

Tak pelak Zuki merasakan desiran-desiran halus mengalir dalam tubuhnya. Setiap kali bersama Munaroh ada sebuah hasrat yang tak bisa dibendung tapi tak bisa dilampiaskan.

“Mas, ini kopinya.” Munaroh sudah keluar saja dari dapur dengan membawa kopi dan cemilan.

Ia lalu duduk di samping Zuki. Bergelendot mesra membuat Zuki makin tak bisa menahan gejolak jiwa. Dipegangnya erat jemari Munaroh dengan wajah yang terus mendekat. Dan dia dapat yang ia mau, bibir Munaroh.

*************

Bak mendapat durian runtuh, Zuki pacaran dengan Munaroh. Selain royal, janda muda itupun gampang diajak pacaran yang kelewat batas. Meski mereka tak melakukan hubungan layaknya suami istri, Zuki sekali dibuat puas saat icip-icip. Apa yang tak pernah diberikan oleh Sri, kini ia dapat semua dari Munaroh.

“Mas, weekend kita jalan-jalan ke Bandung yuk!” ajaknya.

“Boleh,” sahut Zuki nurut.

Weekend yang ditunggupun tiba. Sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta itu berlibur ke Bandung dengan menggunakan mobil milik Munaroh. Meski ia harus menyetir sendiri, tapi ia rela asal bisa jalan dengan kekasih tercinta.

Seharian mereka menikmati keindahan kota Bandung yang masih asri dan sejuk. Menikmati kuliner tanah sunda itu yang  memanjakan lidah. Hingga tak terasa hari sudah senja. Sedang badan sudah letih, tak bisa diajak kompromi.

“Mas, kita pulangnya besok saja ya!” pinta Munaroh.

“Terus kita nginep di mana?” tanya Zuki.

“Kita cari hotel,” sahut Munaroh gampang.

Sebelum ke hotel, mereka mencari baju untuk ganti malam ini.

Munaroh langsung merebahkan diri ke kasur sesampainya di kamar hotel. Body Munaroh yang terbalut baju ketat itu membuat Zuki terkesima.

Seolah tahu keinginan sang pacar, Munaroh mendekati Zuki dengan gaya menggoda. Sudah lama ia merindukan momen ini. Disentuh dan dimanjakan seorang pria. Tak pelak, Zuki tak bisa menahan desiran yang terus menghatam kekuatan iman. Malam itu, Zuki mendapatkan pelayanan layaknya  kupu-kupu malam tanpa harus membayar.

***********

“Yang, kita ke rumahmu yuk!” ajak Munaroh sesampainya Zuki di toko. “Aku ingin kenalan sama Enyak.”

“Tapi jangan hari ini ya!” tolak Zuki. “Aku pingin mesra-mesraan sama kamu tahu.” Zuki menyenggol tubuh pacar cantiknya.

“Mesra-mesraannya besok saja,” tolak Munraoh cepat. “Aku sudah beli banyak oleh-oleh untuk Nyak juga gamis.”

“Ya sudah kalau githu.” Zuki mengalah.

Zuki meletakkan beberapa plastik, oleh-oleh untuk Romlah di cantelan depan motor. Dengan mesra, mereka berjalan pelan ke rumah Zuki di Warakas.

“Assalamualaikum.” Zuki dan Munaroh bebarengan mengucap salam. Tak berapa lama Romlah datang dengan senyum.

“Siapa, Zuk?” tanya wanita berdaster itu heran dengan kedatangan wanita cantik yang belum pernah ia lihat.

“Kenalin, ini Munaroh, Nyak!” Zuki memperkenalkan dua wanita itu. “Pacar Zuki.”

“Munaroh.” Dengan santun janda muda itu  mencium punggung tangan Romlah.

“Aye Romlah, Enyaknya Zuki,” sambut Romlah. “Ayo Neng, masuk!”

Ketiga orang itu duduk lesehan di karpet. Zuki meletakkan semuan bawaan sang kekasih hati.

“Ini, oleh-oleh untuk Enyak.” Munaroh menyodorkan semua bungkusan kepada Romlah membuat wanita itu senang tak kepalang.

“Banyak amat?”

“Munaroh ga tahu kesukaan Enyak apa,” sahut Munaroh. “Jadi aku beli semua aja. Semoga Enyak suka ya!”

“Enyak mah suka apa saja,” sahut Romlah masih sibuk melihat-lihat oleh-oleh yang dibawa pacar Zuki.

“Itu juga ada gamisnya,” tunjuk Munaroh pada paper bag warna hitam.

Romlah meraih paper bag itu. Segera mengambil gamis pemberian calon mantu.

"Wah, bagus banget,” puji Romlah dengan mematut gamis itu di badan. “Makasih ya, Neng.”

“Enyak suka?” tanya Munaroh.

“Suka banget,” sahut Romlah.

Bagaimana ia tak senang. Terakhir beli gamis kan waktu lebaran. Itupun beli di pasar dengan harga yang paling murah. Lha ini, pastinya mahal. Bahannya lembut, adem dan tebal. Dan coraknya mewah.

******

Kedekatan Zuki dengan Munaroh membawa kebahagiaan tersendiri untuk Romlah. Pasalnya wanita cantik yang sedang dekat dengan anaknya itu begitu royal dan tak perhitungan. Tiap hari, ia dikirimi makanan oleh tuh perempuan.

“Emang, Munaroh kerja apaan sih?” tanya Romlah sembari menikmati bakso buntel yag dikirim Munaroh.

“Dia punya toko grosir dan beberapa kontrakan rumah,” sahut Zuki.

“Banyak duit dong?” telisik Romlah.

“Banyak, Nyak,” sahut Zuki membuat Romlah makin antusias ngobrolin pacar Zuki itu. “Sehari omset toko grosirnya saja sampai sepuluh juta.”

“Beneran, Zuk?” Romlah terpukau. Ia menghitung, omset calon matunya itu selama sebulan.

“Bener, Nyak.” Zuki menyakinkan. “Pan tiap hari, Zuki nemenin dia di toko tiap pulang kerja.”

“Wah, rezeki nomplok loe kalau dapat dia, Zuk.” Romlah senang tak kepalang.

“Sayangnya ia janda, Nyak.” Kalimat Zuki menghentikan senyum ibunya.

“Janda?”

“Iya, janda ditinggal mati tanpa anak.”

“Sikat saja Zuk!” titah Romlah. “Mau janda atau masih perawan, yang penting pulusnya banyak,” ceplos Romlah menyemangati sang anak.

************

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang