TEKOR BANDAR

193 13 0
                                    


Merasa boros saat mengajak kencan  Ratih ke luar, Zuki memutuskan untuk pacaran di rumah kekasihnya saja. Pasti akan ngirit uang dan bebas melakukan apa yang ia suka.

“Aku main ke rumahmu ya!” pinta Zuki saat menjemput dan diiyakan oleh sang pacar.

“Aku saja yang bawa motor!” Dengan cepat Ratih menyambar kunci yang dipegang Zuki,
Bak Valemtino Rossi, Ratih melajukan motor matic sang pacar. Sedikit membuat Zuki ketakutan.

“Yang, pelan-pelan!” titahnya.

“Biar cepat sampai,” sahut Ratih santai.

Benar saja, tak butuh waktu setengah jam, mereka sudah sampai  di daerah Senin. Ratih memarkir motor di halaman rumahnya yang asri.

“Assalamualaikum.” Zuki dan Ratih memberi salam pada Umar, ayahnya Ratih.

“Yang, aku tinggal mandi dulu ya! Kamu ngobrol dulu sama Bapak,” ucap Ratih hanya diiyakan oleh Zuki.

Sedikit gugup Zuki berhadapan dengan Umar yang berbadan tinggi tegap dengan kumis tebal layaknya orang Madura.

“Kerja di mana, Nak Zuki?” Umar mencairkan suasana.

“Departemen Store, Pak,” sahut Zuki mencoba rileks.

“Sudah karyawan tetap?”

“Sudah, Pak.”

“Di sini tinggal sama siapa?”

“Sama ibu dan saya punya kontrakan sepuluh pintu,” sahut Zuki pede.

“Wah bagus kalau sudah rumah sendiri. Jadi kalau nanti rumah tangga ga harus ngontrak,” sahut Umar ikut senang.

“Iya Pak, selain itu hasil kontrakan bisa ditabung,” lanjut Zuki mencoba mengambil hati sang calon mertua.

“Betul Nak Zuki, Bapak setuju dengan pemikiranmu,” sahut Umar senang. “Kita hidup itu memamg harus punya sampingan biar bisa untuk ditabung.”

Obrolan Zuki dan Umar mengalir terus tapi Ratih belum juga ke luar rumah. Menahan kesal dalam hati, Zuki bolak balik menatap pintu. Kesal, niat hati mau bermesraan sama pacar malah ini pacaran sama bapaknya.

“Ratih mana ya, Pak?” tanya Zuki yang lelah menunggu.

“Ratih, Ratih!” panggil Umar dengan suara tinggi.

“Iya, Pak.” Akhirnya Ratih ke luar.

“Bapak mau mandi dulu!” Umar beranjak dan kursi bekas ia duduki, sekarang menyangga badan Ratih.

“Lama banget mandinya?” tukas Zuki cemberut.

“Habis mandi, aku langsung makan,” jawab Ratih tanpa rasa bersalah.

**************

Zuki masih setia selalu mengantar Ratih pulang kerja. Di sore yang cerah ini, ada gerobak empek-empek yang kebetulan sedang berhenti di depan rumah.

“Ada empek-empek tuh Rat!” tunjuk Umar yang sedang duduk bersama istrinya di teras.

“Bapak mau?” tanya Ratih yang dijawab dengan anggukan kepala.

“Ibu juga mau, Rat!” sela sang Ibu.

“Kamu mau ga, Yang?” tanyanya sama Zuki.

“Boleh,” sahut Zuki malu-malu.

Ratih memesan empat porsi empek-empek komplit. Tak berapa lama si abang mengantar pesanan mereka.

Mereka menyantap makanan khas Palembang itu dengan obrolan tentang masa lalu Ratih bersama pacar-pacarnya.

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang