BUKAN MALAIKAT

269 22 6
                                    

“Zuki, Zuki!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada  Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.

“Zuki, Zuki!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung.

“Ada apa, Nyak?” Tanya Zuki yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disususl oleh Rojali dan Munaroh.

“Rumah Enyak, Zuk,” sahut Romlah dengan isak tangis.

“Kenapa dengan rumah Emyak?” Zuki mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.

“Rumah Enyak, Zuk,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.

Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Zuki. Zuki menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh membawakan segelas air putih untuk Romlah. Hanya seteguk yang ia minum.

“Ada apa, Nyak?” tanya Zuki ketika melihat ibunya mulai tenang.

Romlah membisu tapi air mata tak kunjung habis membasahi pipi sehingga membuat Zuki makin gelisah. Ia beralih menatap kakak dan iparnya.

“Ini ada apa, Mpok?” tanya Zuki mengalihkan pembicaraan membuat Atun dan Karyo saling pandang.

“Mpok Rohaye dan Bang Malih pinjam uang ke rentenir dengan jaminan sertifikat rumah Enyak,” sahut Atun mengejutkan.

“Apa?” teriak Zuki histeris.

“Kalau sampe besok Enyak ga bisa bayar utang, terpaksa Enyak harus angkat kaki dari rumah,” lanjut Atun.

“Kenapa Enyak yang bayar?” belum apa-apa Zuki sudah tersulut emosi. “Kan yang hutang Bang Malih, seharusnya Bang Malih yang bayar dong?”

“Tuh maling udah minggat,” tukas Romlah dengan emosi.

“Bang Malih dan Mpok Rahaye sudah ga ada di kontrakan. Entah mereka ke mana?” Atun mengangkat bahu.

“Zuk, bayarin hutang Mpok loe ke rentenir, tiga ratus juta!” rengek Romlah.

“Tiga ratus juta?!” pekik Zuki lagi tanpa menutup mulut. Dia syok dengan nominl utang iparnya.

“Iya Zuk, kalau ga dibayar besok, rumah Enyak akan disita.” Wajah Romlah memelas. “Rumah itu kan warisa terakhir dari babe loe yang tersisa, Zuk.”

Zuki tak tega melihat ibunya yang bercucuran dengan air mata. Dengan lekat ia memandang sang istri tercinta.

“Yang, bantu Enyak, ya!” pintanya kemudian membuat Munaroh melongo.

Hening merayap. Tak ada jawaban dari Munaroh. Wanita mandiri itu hanya mematung menanggapi permintaan sang suami.

“Yang!” Zuki kembali meminta jawaban.

“Udah loe pakai saja uang Munaroh buat bayar hutang Enyak!” jawab Romlah akhirnya karena dongkol, mantunya itu hanya diam. “Loe juga berhak atas uang istri loe.”

Semua terhenyak dengan ucapan Romlah yang tak tahu etika. Lagi-lagi Munaroh tak bersuara. Namun, dadanya naik turun menahan geram.

“Kalau minta istri loe, ga bakalan dia kasih tuh duit buat nebus rumah Enyak,” imbuhnya lebih ketus membuat Rojali mengelus dada.

“Gimana, Yang?” Zuki masih berusaha meluluhkan hati istrinya. “Menolong orang tau itu pahalanya besar lho, Yang. Bisa untuk tabungan di akhirat.

Munaroh mengelus dada. Mengingat kembali perlakuan sang mertua selama ini. Ada rasa sakit menyayat jika mengingat semua itu. Sang mertua hanya menyayanginya karena dia banyak uang. Saat ia mulai perhitungan, Romlah selalu saja menyakiti hatinya.

“Maaf, Bang, aku ga bisa bantu Enyak,” jawab Munaroh membuat Zuki dan Romlah seketika marah. Namun, Zuki harus menahannya dan tetap lembut agar Munaroh mau menurut.

“Ayo, Yang, kalau bukan kita siapa lagi yang bisa bantu Enyak.” Zuki masih saja memaksa.

“Maaf Bang, aku bukan malaikat yang punya hati tanpa rasa sakit,” sahut Munaroh. “Perlakuan Enyak selama ini benar-benar membuatku terluka.”

“Roh, Roh, elo pelit banget jadi orang!” bentak Romlah tanpa memperdulikan besannya. “Itu kan uang warisan almarhum suami loe, harusnya dibagi-bagi sama kita yang lagi kesusahan.”

Munaroh berlinang air mata. Sakit rasanya di rumahnya sendiri saja masih harus menerima makian dari sang mertua. Di depan saudara dan ayahnya lagi.

“Cukup!” bentak Rojali dengan mata nyalang menatap besannya.

Romlah ciut nyali. Ia langsung menunduk, tak berani menatap. Setelah itu mata jalang Rojali menatap snag mantu, Zuki yang seketika langsung takut. Hanya bisa curi pandang lalu menunduk lagi.

“Jadi begini, Enyak loe perlakuan anak gue, Zuk?” bentaknya tepat di wajah sang menantu.

“Engg…” Zuki tak sanggup menjawab.
Kini langkah laki-laki tua mendekati sang besan, yang duduk dengan menunduk.

“Jahat sekali kamu sama anakku.” Mata Rojali menatap tajam pada wanita di depannya. “Padahal dia sudah biayain biaya rumah sakit, terapi dan biaya hidup kamu.”

Rojali berbalik badan, mendekati anaknya yang menangis tegugu. Dibenamkannya kepala sang anak ke dada. Tangis Munaroh pecah. Sakit hati yang selama ini ia simpan sendiri menguar di pelukan ayahnya.

***********

Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Hari ini Mahmud benar-benar menepati janjinya. Dibantu dengan dua anak buahnya, Mahmud mengusir paksa Romlah dari rumahnya.

“Ini rumah gue!” sentak Romlah . “Loe ga berhak ngusir gue.”

“Itu dulu. Tapi sekarang rumah ini jadi milik gue,” sentak Mahmud lalu tertawa tebahak-bahak.

“Kasih kami waktu, Bang!” Zuki meminta kelonggaran.

“Gue bukan malaikat, Zuk,” kilah Mahmud. “Tapi gue pemuja uang. Cepet pergi!” sentak Mahmud dengan melotot.

“Enyak ga mau pergi, Zuk. Ini rumah Enyak.” Romlah terus meronta. “Suruh istri pelitmu itu bayarin rumah Enyak!”

“Munaroh ga mau, Nyak,” sahut Zuki. “Kita ikhlasin aja ya rumahnya!”

“Apa loe bilang, ikhlasin?” bentak Munaroh dengan mata merah. “Ini semua gara-gara istri loe yang pelit itu. Dasar mantu ga punya hati.”

Romlah terus memaki sang menantu. Kemarahannya selalu di ubun-ubun setiap mengingat sosok mantu kayanya yang menurutnya durhaka pada sang mertua.

“Ayo, Nyak kita pergi!” ajak Atun. “Kita tinggal dikontrakkan Atun.”

“Ogah!”  tolak Romlah cepat. “Enyak ga mau tinggal di kontrakan petak yang sempit.”

“Ini rumah gue, Enyak ga akan pergi dari sini,” imbuhnya lagi. “Kecuali kalau tinggal di rumah Zuki.”

“Zuki, mana punya rumah, Nyak?” cetus Atun. “Itu kan rumah Munaroh.”

“Rumah Munaroh kan juga rumah Zuki,” sahut Romlah sewot. “Ayo, Zuk!”

Dengan dibonceng Zuki, Romlah berangkat ke rumah mantunya. Di sepanjang jalan, Romlah tak henti-hentinya memberi wejangan kepada sang anak.

“Loe itu harus tegas dan galak sama istri loe biar ga diinjek-injek.”

“Dimana-mana tuh istri yang takut suami bukan suami takut istri.”

“Surga istri itu atas ridho suaminya tapi surga suami itu di telapak kaki ibunya.”

Motor Zuki berhenti di halaman rumah Munaroh. Munaroh yang kebetulan sedang di duduk di teras sembari menikmati kopi langsung terkejut dengan kehadiran sang mertua.

“Enyak, akan tinggal di sini,” ucap Zuki tegas tanpa senyum lalu masuk ke dalam.

Sebelum masuk, Romlah tersenyum sinis pada menantunya yang tak bisa berkutik dengan ucapan Zuki.

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang