JOMBLO LAGI

189 14 0
                                    


Zuki masih kepikiran dengan obrolan di rumah Ratih tentang banyaknya modal untuk menikahi cewek Sunda. Sudah dua kali ia gagal nikah karena terlalu besarnya modal nikah. Sri yang meminta tiga puluh juta. Amoy yang meminta seratus juta. Lalu kini, Ratih meminta lima puluh juta.

“Yang, jadi ke rumah kamu, ga?” Ratih yang baru ke luar dari bank membuyarkan lamunan Zuki.

“Jadi dong,” sahut Zuki tersenyum menyambut sang kekasih.

“Ya sudah, kita mampir beli oleh-oleh  dulu ya!”

Ratih membeli donat J-Co. brownies Amanda dan parcel buah sebagai buah tangan untuk  calon mertua. Tak perlu heran jika ekspetasi Ratih juga tinggi mengenai ibu, rumah dan kontrakan Zuki. Pasalnya dari Zuki cerita yang menggembar-gemborkan kontrakan sepuluh pintu kepada keluarga Ratih.

“Assalamualaikum.” Zuki mengucap salam saat tiba di rumah.

Ratih menelan saliva. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Tampak kontrakan kumuh tersaji di depan mata.

“Waalaikumsalam,” sahut Romlah ke luar.

“Nyak, kenalin ini Ratih, pacar Zuki.”

Kedua wanita itu saling berjabat tangan. Ratih tersenyum getir memandangi Romlah yang memakai daster yang sudah bolong.

“Ayo masuk, Nak Ratih!”  ajak Romlah yang diiyakan pacar Zuki.

Ratih makin ditambah syok melihat kesemrawutan di rumah Zuki. Tak ada apa-apa, cuma ada televisi, kasur dan keranjang yang berisi tumpukan baju rapi milik Zuki.

“Ini, buat ibu!” Ratih menyodorkan oleh-oleh yang dia bawa.

“Duh, Nak Ratih repot-repot pakai bawa oleh-oleh segala,” ucap Romlah berbinar melihat makanan enak. “Sudah mau ke rumah saja, Enyak sudah seneng.”

“Zuk, beliin Nak Ratih minum dulu!” titah Romlah. “Ibu, lupa ngrebus air.”

“Ngrebus air, Bu?” Ratih tampak bingung.

“Iya, ibu dan Zuki minum air sanyo,” sahut Romlah santai. “Emang sih asin karena dekat laut tapi daripada beli isi  ulang, mahal.”

Lagi-lagi Ratih dibuat syok. Emak Zuki ga beda jauh dengan anaknya, pelit.

“Nah Ratna kerja di mana?” Romlah mulai mengintrogasi calon mantunya.

“Bank, Nyak.”

“Wow!” pekik Romlah sumrimgah, akan punya mantu yang kerja di bank.

“Sudah lama?”

“Sudah, Nyak.”

“Wah, kalau Nak Ratih nanti jadi menikah dengan Zuki pasti nanti banyak tabungan. Karena kalian sama-sama kerja dan Zuki masih punya pemasukan dari kontrakan sepuluh pintu.”

“Untuk tempat tinggalpun kalian bisa tinggal di sini, ga perlu ngontrak,” lanjut Romlah membuat wajah Ratih pias.

“Tinggal di sini?” tanyanya dalam hati sembari pandangan mengedar ke sekeliling. “Engga banget deh.”

Meskipun Ratih bukan berasak dari keluarga kaya, Umar yang pensiunan ABRI mampu membangun rumah yang layak untuk keluarganya. Rumah besar dengan pekarangan yang asri. Bukan petakan seperti rumah Zuki.

Ratih terbiasa dengan kamar ber-AC. Ruang tamu, ruang makan dan dapur yang terpisah. Juga kamar mandi yang bersih.

Jadi, jangan heran kalau ia bergidik melihat rumah Zuki yang tak lebih dari kontrakan petak. Berantakan di sana sini. Masuk rumah langsung disambut dengan kasur lepek milik Zuki.

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang