BIAYA LAHIRAN

222 16 0
                                    

Selepas magrib, rumah Romlah disambangi oleh anak kedua dan mantunya. Tampak perut Atun sudah besar. Berjalanpun terasa berat dan melelahkan.

“Wah, sudah gede aja perut loe, Tun?” seloroh Romlah.

“Sudah berapa bulan, emangnya Mpok?” tanya Zuki.

“Bulan depan lahiran, Zuk,” sahut Atun membenarkan posisi duduknya.

Munaroh keluar dengan membawa empat gelas minuman hangat dan sepiring gorengan.

“Anak yang kedua ya, Mpok?” Munaroh ikut obrolan.

“Iya,” sahut Atun ramah. “Nabila sebentar sudah kelas lima SD, jadi kangen suara bayi lagi.”

“Munaroh kapan?”Tiba-tiba Karyo ikut mengakrabkan diri.

“Aye sih dikasihnya sama Allah,” sahut Munaroh dengan tersenyum.

“Dia mah sibuk ngurusin toko, jadi we ga hamil-hamil,” tukas Romlah dengan wajah judes.

“Kurangi atuh ke tokonya!” nasihat Karyo. “Lagian sudah ada Zuki yang kerja,” lanjutnya.

“Iya, Mas,” sahut Munaroh kalem.

“O iya, Nyak, maksud kedatangan aye ke sini, mau pinjam duit.” Atun memberanikan diri menyampaikan isi hati.

“Bentar lagi kan lahiran tapi aku ga megang uang sama sekali. Belum juga beli perlengakapan bayi.”

“Sedang Mas Karyo, lagi ga ada kerjaan,” keluh Atun.

“Ya, memang dasar laki loe dari dulu itu kerjaannya nganggur mlulu,” umpat Romlah jutek.”Ga ada inisiatif mau kerja.”

“Mas Karyo mau kerja apa aja kok, Nyak!” Atun membela suamimya. “Cuma panggilan jadi kuli bangunan sedang sepi. Jualan cilok cuma cukup buat makan sehari-hari.”

“Enyak sih ga ada duit,” sahut Romlah cepat. “Ga tahu kalau Zuki.” Kalimat Romlah membuat Zuki gelagapan.

“Zu..Zuki juga ga ada Mpok,” kilah Zuki. “Kemarin sudah buat beli hape baru.”

“Tolongin dong, Nyak!” pinta Atun memelas. Matanya mulai merah seakan ingin menangis. “Perhiasan Enyak kan banyak, tolong pinjamin satu! Nanti kalau Mas Karyo sudah kerja, kita ganti.”

“Ogah amat!” sentak Romlah kasar, membuat Munaroh begitu terkejut. Kok tega ya mertuanya berlaku kejam pada anaknya sendiri.

“Kalung sepuluh gram yang dulu loe pinjem saja belum dibalikin!” tukas Romlah. “Eh, sekaramg mau pinjam lagi.”

“Kalau bukan Enyak yang bantu, Atun harus minta tolong ma siapa, Nyak?” Atun mulai menitikkan air mata.

“Ya, mana Enyak tahu.” Romlah mengangkat bahu. “Mungkin pinjam ke saudaranya Karyo atau pinjem tuh ke mpok loe, Rohaye.”

“Mpok Rohaye lagi ga punya uang, Nyak,” sahut Atun. “Tadi kita sudah ke sana.”

“Saudara-saudara Karyo juga ada yang mau minjemin, Nyak.” Karyo menimpali.

“Bukannya saudara-saudara kamu itu kaya?” cecar Romlah. “Bos bakso semua?”

“Iya, Nyak,” sahut Karyo lemas. “Tapi mereka tak mau pinjemin uang karena kami masih punya hutang ke mereka.”

“Nyak, tolongin Atun, Nyak!” rengek Atun.

“Kalau engga ada, mau diapain?” Romlah malah memarahi anaknya, bukannya membantu.

“Zuk, tolongin pinjemin ke tempat kamu kerja!” kali ini Atun mengiba pada adiknya. “Mpok janji akan bayar tiap bulan cicilannya.”

“Gimana Mpok mau bayar?” tukas Zuki cepat. “Pekerjaan saja Mas Karyo ga punya,”lanjutnya membuat Atun dan suaminya tercekat.

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang