MALING SERTIFIKAT

262 20 0
                                    


Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.

“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.

“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.

“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.

“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.

“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.

“Nasi padang,” sahut Romlah.

“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anaknya serentak.

Atun menatap lekat wajah lelah suaminya. Tak tega rasanya hasil jualan hari ini tak tersisa untuk menabung. Dengan senyum dan tatapan lembut, Atun menasihati kedua anaknya.

“Makan ayam gorengnya besok ya, Sayang!” rayu Atun lembut. “Kasihan itu tempe gorengnya ga dimakan, nanti nangis.”

Kedua anaknya saling pandang, kemudian menikmati makanan sederhana itu dengan lahap. Namun sikap prihatin kedua cucunya tak meluluhkan hati sang nenek.

“Mana nasi padangnya!” gertak Romlah. “Enyak udah laper.”

“Aku beliin dulu ya, Nyak!”  Karyo bangkit dan berlalu.

************

Atun terus kepikiran belum bisa membahagiakan sang ibu sehingga membuatnya susah untuk terpejam padahal malam sudah larut. Karyo yang terbangun, terkejut melihat istrinya belum tidur.

“Kenapa, Dek?” tanya Karyo pada sang istri yang memanadang langit-langit kamar.

“Aku malu, Mas, belum bisa membahagiakan ibu,” curhat Atun mengusik hati suaminya. “Selama ini kita hanya bisa nyusahin Enyak saja.”

Karyo menghela nafas panjang. Sebagai menantu, sebenarnya ia juga malu tak bisa membahagiakan anak dan istrinya. Meskipun ia sekuat tenaga banting tulang, Tuhan selalu menggariskan rezekinya hanya cukup untuk hidup sederhana.

“Besok kita ke pasar ya, Dek,” ucapnya kemudian membuat Atun beralih manatapnya.

“Ngapain?"

“Beli cincin untuk Enyak,” sahut Karyo membuat mata Atun tebelalak.

“Duitnya?”

“Pakai duit tabungan, Dek.”

“Tapi itu buat jaga-jaga, Mas,” kilah Atun.

“Gapapa seklai-kali buat nyenengin ortang tua.” Karyo tersenyum. “Insyaallah nanti ada gantinya.”

“Tapi uang sejuta, mana cukup untuk beli emas dua puluh karat?” keluh Atun.

“Kita bisa belie mas yang tujuh puluh persen, Dek,” usul Karyo. “Insyaallah dapet dua gram dengan uang tabungan kita.”

“Makasih ya, Mas, sudah baik sama Enyak,” ucap Atun teharu dengan sikap sang suami.

“Sama-sama, Dek,” ucap lembut Karyo.

**************

Dengan wajah berbinar Karyo dan Atun menemui Romlah. Snyum merekah tersinggung dari bibir pasutri sederhana ini.

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang