TAGIHAN HUTANG

252 19 0
                                    


Sebulan terlewati sudah. Rumah Zuki yang dulu seperti kandang ayam kini megah bak istana dibanding dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Rona bahagia tampak di wajah Romlah dan Zuki. Belum lagi Munaroh sudah mengisi rumah itu dengan tempat tidur, sofa, meja makan, lemari pakaian yang serba baru.

“Wah, rumah Enyak jadi bagus ya!” seru Romlah saat memasuki rumah. “Enyak mau lihat kamar Enyak dululah.” Romlah bergegas ke kamar dan tak keluar lagi.

“Asyik, kita punya kamar sendiri ya, Yang?” seloroh Zuki. “Udah ada pintunya, jadi kita bisa mesra-mesraan tiap waktu,” godanya membuat wajah Munaroh merona merah.

Pasutri itu masuk kamar. Zuki langsung nyalain kipas dan rebahan di springbed empuk. Sedang Munaroh, merapikan baju-baju ke dalam lemari.

*************

Dua hari kemudian tagihan matrial dan tukang dari Imran datang ke toko Munaroh. Paman Munaroh yang juga seorang rentenir itu mengatakan jika dua hari lagi ia akan datang menagih.

“Ini, total utang tukang dan matrial, Roh!” Imran meyodorkan tagihan yang sudah diberi materai.

“Bunganya dua belas juta sendiri, Cang?” tanya Munraoh.

“Itu termasuk kecil,” sahut Imran. “Utang enam puluh juta jadi tujuh puluh dua juta dibayar tiga tahun lagi.”

“Ya sudah, nanti aku bilang ke Bang Zuki, ya!” Munaroh melipat tagihan itu dan memasukan ke tas.

“Siapa nih nanti yang bayar?” Imran memastikan.

“Tagih aja langsung ke Bang Zuki!”

“Oke,” sahut Imran sambil tersenyum.

Selepas magrib, Munaroh memberikan kertas tagihan itu kepada sang suami saat sedang bersantap di meja makan.

“Apaan ini, Yang?” tanya Zuki ketika menerima selembar kertas dari istrinya.

“Tagihan utang matrial dan tukang,” sahut Munaroh yang hanya di ditanggapi biasa oleh mertua dan suaminya.

Zuki membuka kertas itu dan membaca dengan teliti rincian harga dan totalan semua dengan tukang.

“Ada bunganya?” Zuki memastikan.

“Ya iyalah, namanya juga kita beli matrial kredit,” sahut Munaroh.

“Emang habis berapa semuanya, Zuk?” Romlah ikut kepo.

“Enam puluh juta tapi pakai bunga jadi nambah dua belas juta, Nyak,” sahut Zuki menyodorkan kertas itu.

“Kredit matrial di Imran, Roh?”  Romlah memastikan.

“Iya, Nyak,” sahut Munaroh.

“Sama ponakan sendiri kok pakai bunga,” cibir Romlah dengan melempar tagihan itu ke meja.

“Kan Bang Zuki yang bayar, Nyak,” sahut Munaroh membuat mertua dan suaminya tersedak.

“Kok aku?” protes Zuki.

“Abang kan kepala rumah tangga.”

“Ya, ga bisa githu dong!” tukas Zuki. “Kamu kan yang inisiatif kredit, jadi kamu yang harus bayar!” Zuki melempar tanggung jawab.

“Udah ga usah dibayar!” Romlah ikut campur. “Itu kan urusan Munaroh sama pamannya.”

“Ya, sudah terserah kalian!” sahut Munaroh. “Aku sudah nyampein amanat Encang Imran kalau besok sudah mulai cicilan utang.”

**************

Benar saja, Zuki dan Romlah mangkir saat Imran dan dua anak buahnya datang menagih ke rumah dengan alasan yang berhutang itu mantunya bukan anaknya. Daripada malu adu mulut dan jadi tontonan warga, Imran memilih ke toko sang ponakan.

“Roh, ini gimana?” keluh Imran kesal. “Zuki ga mau bayar, malah mertuamu mulutnya itu pedes banget lagi.”

“Paksa aja sih Cang!” titah Munaroh.

“Nanti kalau babak belur, bagaimana?” Imran takut.

“Kayak biasanya Encang nagih utang aja,” sahut Munaroh.

“Tapi kalau suamimu babak belur, aku ga tanggung jawab ya!”

“Jangan kenceng-kenceng mukulnya!” pesan Munaroh yang sebentar lagi juga akan pulang karena hari sudah sore.

“Ya, sudah, aku balik lagi deh!”

Imran dan dua anak buahnya kembali menyatroni rumah Zuki. Romlah yang masih asyik menikmati gorengan di teras langsung naik pitam.

“Ngapain lagi loe ke sini!” sentak Romlah dengan berkacak pinggang.

“Mau nagih utanglah,” sahut Imran tak kalah galak. “Mana Zuki.”

“Sudah dibilang, yang punya utang itu Munaroh bukan Zuki,” kilah Romlah. “Nagihnya ya ke Munarohlah.”

“Zuki, Zuki, Zuki!” teriak Imran seperti orang kesetanan sehingga memancing penasaran banyak orang.

Imran dan anak buahnya mulai mengobrak abrik rumah Zuki membuat Romlah kalang kabut. Teriakanya tak digubris oleh Imran. Kasak-kusuk tetangga mulai terdengar. Tampak Zuki keluar tergopoh-gopoh ke luar.

“Ada apa sih ini?” sentakmya saat sudah ada di teras.

“Bayar cicilan utang loe sekarang!” hardik Imran. “Baru pertama angsuran saja sudah mangkir.”

“Ka udah aye bilang yang utang itu istri aye. Ya sudah tagih aja ke dia!” kilah Zuki.

“Banyak omong loe!” hardik salah satu pegawal Imran sembari melayangkan bogem mentah.

Tubuh Zuki sempoyongan menerima tinju dari dua pengawal yang tinggi kekar itu. Tampak Romlah panik dan berusaha melerai perkelahian itu.

“Sudah, sudah!” teriaknya. “Kok anak saya dihajar babak belur begini?”

“Makanya bayar cicilannya!” hardik Imran tegas  saat Zuki sudah tak berdaya.

“Udah bayar aja Zuk!” titah Romlah. “Nanti kita minta ganti rugi sama istri loe.”

“Iya, Nyak!” Akhirnya Zuki memberika  uang dua juta kepada paman istrinya itu.

“Nah, dari tadi kek!” ucap Imran tersenyum puas. “Gini aza bikin ribet.” Imram dan kedua anak buahnya berlalu dan wargapun bubar.

************

Menjelang magrib, Munaroh sampai di rumah. Kali ini kepulangannya disambut dengan rentetan omelan dari ibu mertua.

“Paman loe itu bikin gara-gara!” semprot Romlah. “Zuki babak belur tuh!” tunjuk Romlah pada anak laki satu-satunya yang sedang duduk sembari menikmati kopi.

“Sudah diobatin, Nyak?” tanya Munaroh cemas dengan Zuki yang babak belur.

“Udah,” sahut Romlah sewot. “Yang punya utang siapa? Yang ditagih siapa?” Romlah mulai meyindir.

“Tadi Abang sudah bayar cicilan pertamanya.” Zuki buka suara. “Kamu ganti ya, Yang.”

“Ya ga maulah!” tolak Munaroh tegas.

“Kok ga mau?” Mata Romlah melotot. “Itu kan utang kamu?”

“Utang aku?” Nada bicara Munaroh seperti menyindir. “Ini rumah Bang Zuki, yang nempatin Enyak sama Bang Zuki, renov rumah karena permintaan Enyak dan Bang Zuki. Ya jadi utangnya Bang Zuki dong!”

“Utang suami juga utang istri dong,” kilah Zuki mempertahankan argumentasinya.

“Utang suami ya utang suami,” sahut Munaroh enteng. “Baru utang utang istri itu utang suami.”

“Ya sudah, angsuran pertama ini aku yang bayar.”Zuki mengalah. “Tapi setoran selanjutnya sampai lunas kamu yang bayar.”

“Ogah,” sahut Munaroh tegas.

“Ya sudah ga usah dibayar saja!” timpat Romlah sewot.

“Paling nanti Bang Zuki dihajar lagi,” sahut Munaroh. “Atau dibawa ke kantor polisi.” Kali ini jawaban Munaroh bikin mertua dan suaminya tegang.

“Surat tagihan itu kan bermaterai, jadi ada hak hukumnya,” lanjut Munaroh membuat mertua dan suaminya saling pandang dan menelan saliva pahit.

**************

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang