HABIS KESABARAN

618 39 11
                                    

“Apa ini?” selidik  Zuki yang langsung terbelalak membaca nama lembaga di amplop.

“Ini surat gugatan cerai dari aku, Bang,” jawab Munaroh mengejutkan penghuni kamar itu.

“Kamu minta cerai dari aku, Roh?” Tangan Zuki bergetar saat mengetahui isi surat itu.

“Iya, Bang,” sahut Munaroh tenang seolah sudah mantap dengan keputusan ini. “Aku ingin mengakhiri statusku menjadi mantu dan istri yang durhaka, Bang.”

“Cuma karena kata-kata itu kamu minta pisah?” Zuki menertawakan alasan Munaroh. “Lucu sekali kamu ingin menyudahi pernikahan dengan hal yang sepele.

“Aku tunggu di pengandilan, Bang!” Munaroh tak menggubris suaminya. Gampang sekali laki-laki itu tak memperdulikan perasaannya. “Bajumu dan Enyak sudah aku bawa,” tunjuknya pada dua koper di pojokan kamar.

“Kamu ngusir aku dan Enyak?”

“Ya jelaslah,” sahut Munaroh dengan berani. “Ga malu numpang di rumah istri durhaka?” ejeknya membuat wajah Zuki makin pias.

“Apa tak bisa dicari solusinya, Roh?” Karyo buka suara.

“Kesabaranku sudah habis, Mas,” jawab Munaroh lagi-lagi dengan senyum. “Mungkin ini keputusan yang terbaik.”

Tanpa pamit Munaroh melenggang pergi meninggalkan Zuki yang mematung. Tampak Romlah gusar seperti cacing kepanasan. Ia paling merugi jika Zuki dan Munaroh benar-benar berpisah.

‘Terus gue tinggal di mana kalau mereka pisah? Masa iya tinggal di kontrakan petak?’ keluh Romlah dalam hati yang akan kehilangan istana indah Munaroh.

“Kejar Munaroh sekarang!” perintahnya berapi-api. “Bagaimanapun caranya, rayu dia untuk ga cerai!”

Zuki langsung mengejar sang istri yang hendak membuka pintu mobil. Namun terhalang dengan aksinya yang memegang tangan.

“Roh, aku minta maaf. Kita bisa perbaiki semua ini!” pinta Zuki. “Semua ini demi Billar, anak kita.”

Munaroh tersenyum. Menikmati wajah suaminya yang ketakutan kehilangan anak dan istrinya. Namun, ia harus menyayangi dirinya sendiri. Untuk apa menjalani rumah tangga tapi selalu dipenuhi racun dari mertua.

“Aku ga bisa, Bang.”

“Please beri aku kesempatan lagi!” rengek Zuki sehingga membuat beberapa orang yang yang lewat memandangi mereka.

“Aku sudah memberimu kesemparan dan tak ada kesempatan lagi.” Munaroh menarik handle pintu mobil, masuk lalu meninggalkan Zuki sendiri dengan semua penyesalannya.

“Arrrgggggggg!” teriaknya dengan meninju angin.

Dengan langkah gontai, Zuki kembali ke kamar ibunya. Wajahnya lesu langsung disambut Romlah dengan cercaan pertanyaan.

“Gimana Zuk, loe bisa nyakini Munaroh untuk ga cerai kan?” tanya Romlah berapi-api.

“Enggak, Nyak,” sahut Zuki nyaris tak terdengar.

“Gimana sih loe?” setak Romlah di atas kursi rodanya. “Cuma nyakinin bini saja ga bisa?”

“Munaroh sudah sakit hati dengan semua yang kita lakuakn, Nyak,” imbuh Zuki.

“Dasar baperan saja tuh orang,” umpat Romlah meluap-luap.

“Iyalah siapa yang ga sakit hati.” Timpal Atun yang bersiap mendorong kursi roda ibunya. “Udah numpang, tiap hari dikatain mlulu lagi.”

“Jaga tuh mulut, ya!” sentak Romlah tak terima dengan ucapan anaknya.

***********

Romlah menatap nanar kontrakan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Sebuah kontrakan petakan yang bersebelahan degan kontrakan sang anak, Atun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PELIT BIN MEDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang