Bagian 03

37.1K 4.6K 252
                                    


°°°
[New Airyn's Story]

Bagas menarik tangan Helina, Entah kenapa. Helina rasa pegangan tangan Bagas terasa kuat. Kenapa dia?

"Gas ... kamu kenapa?" cicit Helina. Jujur saja, ia takut melihat raut wajah Bagas yang menahan amarah.

"Diam Hel, diam," ucap Bagas.

Wajah lelaki itu terlihat datar, Helina hanya bisa menghela napas pelan. Kenapa pacarnya kini mendadak diam setelah keluar dari ruangan Airyn? Helina hanya bisa diam saat genggaman tangan Bagas mendadak menggenggamnya kuat.

Tidak habis pikir ketika melihat gadis yang selalu mengganggunya itu mendadak tak mengenalinya. Kedua mata Bagas menajam saat di mana Airyn membentaknya di ruang inap gadis itu. Ada apa dengan Airyn? Kenapa gadis itu malah mengusirnya? Apa ini termasuk rencana licik Airyn? Ia tahu, jelas sangatlah tahu watak gadis itu, yang tak lain adalah adik dari sahabatnya.

Gadis licik, orang yang membully pacarnya, menganggu hari-harinya, tiba-tiba mendadak membentaknya.

Ada apa dengan Airyn? Bagas mengusap wajahnya secara kasar, ingatan laknat tentang Airyn terbayang di benaknya.

Berbeda dengan Helina gadis itu menoleh di mana Leo tengah menatapnya, namun seolah-olah Leo tak merasa terganggu oleh tatapan Helina yang menatapnya dari samping. Leo mengembuskan napas berat sebelum berkata, "Lo gak usah pikirin omongan Airyn. Mungkin otaknya geser pas keserempet mobil," ujar Leo acuh.

Bagas Menoleh ke arah Leo, ia nampak bingung juga dengan kejadian barusan. "Dion mana?" Mengangkat bahu acuh Leo menatap balik kekasih Helina.

Sejak om Abraham menarik Dion keluar dari ruangan Airyn, sejak itu pula Dion tak menunjukkan batang hidungnya. "Gak tau, mungkin masih sama Om Abraham." Bagas hanya mengangguk, lalu berjalan terlebih dahulu dengan Helina di samping nya.

Sampai di depan parkiran, ia melihat banyak anak geng tongkrongannya. "Gimana udah?" ujar salah satu sahabatnya itu bernama Tegar

Melihat Bagas yang hanya diam, membuat Leo menganggukkan kepalanya. "Lo pada gak mau jenguk juga?" tanya Leo basa-basi.

"Ogah lah, gedeg bat dah gua sama tuh anak.," ucap Tegar membuat mereka tertawa, sudah sangat jelas bahwa Tegar paling benci dengan Airyn.

"Halah lo make ogah segala, bukannya kemaren lo Bilang ama gua kalo lo demen ama tuh anak kan? Ngaku gak lo Jaenudin!" semprot Leo membuat Tegar mendengus.

"Gar, gue ingetin nih yah. Benci ama cinta gak jauh beda loh. Awas ae lo cinta sama tuh anak. Gue yang paling ngakakkin lo paling pertama." Tak hanya Leo, bahkan Wahyu pun ikut serta.

Yang lain hanya terkekeh geli melihat mereka, "Mending langsung balik aja. Gue cape pengen istirahat. Gue duluan yah." ujar Bagas lalu diangguki mereka semua.

"Hati-hati di jalan Gas! Awas jangan mampir mampir ya lo! Inget Gas, inget Allah! Jangan sampe khilaf lo Gas!" teriak Tegar yang lalu di tampol oleh Leo.

"Kebiasaan, inget tempat kalo mau teriak goblok. Gak di kuburan, gak di selokan. Hobby nya paduan suara aja lo," ujar Wahyu membuat Tegar terkekeh.

"Ya maap, kelabasan gue hehehe." Bagas hanya menggeleng kepala melihat kelakuan Tegar, ia menoleh ke arah Helina. Lalu memberi Helm kepada gadisnya.

"Naik." Helina dengan cepat naik ke motor besar milik Bagas, setelah Bagas mengklakson motornya yang mendapat anggukan teman temannya, lalu menjalankan motornya meninggalkan area parkiran rumah sakit.

***

Dion menatap datar Adiknya, sebenernya ia malas sangat malas mengakui gadis di depannya ini adik kandungnya. Entahlah, kebenciannya terhadap gadis manja yang selalu bersikap murahan di hadapan teman temannya, membuat ia malu.

Melihat Airyn terbaring dengan selang infus di tangannya, tak membuat ia menyimpan rasa empati kepada Airyn. Malah sebaliknya, ia malah merasa senang.

"Harusnya, lo gak lahir," gumam Dion kepada Airyn yang tengah tertidur di Brankar.

Ia semakin maju, bahkan sekarang ia sudah di hadapan Airyn. Ia tersenyum sinis, entahlah semakin ia melihat adiknya dari dekat, membuat jiwa iblisnya berkoar.

"Dan harusnya, lo mati!" tekan Dion. tu, baru saja ia ingin berbalik untuk keluar. Namun, sebelah tangan nya di tarik. "Abang... jangan pergi ..." ucapannya terdengar lirih membuat hati Dion mencelos.

Ada rasa senang di dirinya, selama Airyn memasuki Sekolah Menengah Atas. Sejak itu lah Airyn tak pernah memanggil dirinya dengan embel-embel 'Abang' ataupun 'Kak' melainkan nama.

Baru saja ia ingin melepaskan pegangan tangan Airyn, bertepatan dengan itu pintu ruangan dibuka. "Dion, apa yang kamu lakukan?" tanya Abraham ketika pria paruh baya masuk.

Dion hanya menatap lengan Airyn yang berada di tangannya, Abraham mengangguk mengerti. Ia perlahan mendekati Dion.

"Daddy harap, setelah kejadian ini. Kamu ngerti apa yang Daddy rasain. Jaga Airyn." Dion mengernyit kala daddy-nya itu mendadak insap.

"Maksud Daddy?" Abraham hanya tersenyum tipis.

"Kata Dokter Andy, Airyn Besok sudah bisa pulang. Besok libur sekolah 'kan? Besok Jagain Airyn seharian di rumah, tubuhnya masih lemas." ucapan Abraham membuat Dion Tambah pusing.

Baru saja Dion ingin menyela. Namum, perkataan Abraham selanjutnya membuat ia terdiam.

"Dengan hari itu, mulai lah perbaiki hubungan kamu dengan adik kandungmu. Gak cape apa kalian ribut terus? Di mana mana kakak-adik tuh akur, gak musuhan kayak kalian. Daddy rasa, setelah kecelakaan tadi, Airyn sedikit berubah lebih baik." Setelah mengucapkan itu, Abraham memilih keluar ruangan, meninggalkan Dion yang tengah termenung.

***

Ada perasaan tak suka ketika melihat Airyn masih hidup, ia pikir gadis itu telah mati. Ada perasaan jengkel di hatinya. Ia takut, takut. Ketika gadis itu sudah pulih, ia akan menganggu dirinya lagi.

Namun, ia masih bersyukur. Selama ada Bagas di sampingnya, ia Merasa aman. Ada sedikit rasa senang di hatinya, ketika Melihat teman Se-geng Bagas tak menyukai Airyn. Entahlah. Ia merasa diperlakukan seperti seorang Ratu. Yah, harusnya tak ada Airyn yang menjadi hambatannya.

Melihat wajah cantik mulus Airyn, tak ia pungkiri. Bahwa ia merasa insecure. Sungguh jelas, wajahnya tak secantik milik Airyn.

Layssie Lauryn Winata.

Gadis cantik yang memiliki semuanya, bahkan jujur. Ia merasa iri dengan apa yang Airyn punya.

Namun, minusnya. Airyn tak mempunyai teman. Ralat, gadis itu bukan tak memiliki teman. Namun kesombongannya membuat orang lain tak ingin berdekatan dengannya.

Tak ayal, justru membuat Airyn populer di SMA Wilston School. Banyak para siswa lelaki menyatakan kesukaannya terhadap Airyn, dan hal itu membuat Helina iri dibuatnya.

Helina bangkit dari ranjang nya. Ia berjalan menuju ke arah cermin. Menatap pantulan dirinya, Tinggi badan yang Hanya 153 membuat ia seperti kurcaci. Warna kulit dengan coklat sawo, yang membuat dirinya terlihat manis. Dan jangan lupakan, berat badannya yang ideal. Dengan itu ia merasa bersyukur, setidaknya berat badannya tak terlalu gemuk ataupun terlalu kurus.

Rumahnya tak semewah dan sebesar milik Airyn. Ia hanya tinggal dengan ibu dan adik perempuannya saja.

"Kenapa aku makin ke sini seolah makin insecure dan gak merasa bersyukur banget sih?" ungkapnya, tatapan matanya menatap lamat-lamat pada cermin di depannya diikuti dengan sebelah tangannya mengacak rambut panjangnya.

"Wajar lah, aku dan Airyn beda! Dari kehidupannya aja udah beda. Hidup dia sempurna, orangtua lengkap, punya Abang, Harta berlimpah, perawatan tiap Minggu, duit bulanan ngalir berjuta-juta. Lah aku?" Helina terkekeh pelan meratapi nasibnya.

Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjangnya, lalu menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. Pandangannya kini menatap ke langit langit kamarnya.

"Hidup itu nunduk, jangan natap ke atas. Semakin kamu natap ke atas, kamu akan merasa hidup kamu selalu kurang," gumam Helina.

To Be Continue

AIRYN'S  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang