Bagian 19

31.2K 3.5K 187
                                    

°°°
[New Airyn's Story]

Mendengar suara pintu kelas terbuka, para murid yang tengah tulis menulis menghetikan kegiatannya lalu mendongak menatap pintu kelas. Kelas seketika hening saat Bu Lastri berbalik badan. Guru muda itu menutup spidolnya sambil berjalan mendekat ke arah Airyn. Ditatapnya anak muridnya itu dari atas hingga bawah. Sebelah tangannya bergerak membenarkan letak kacamata sambil melangkah mendekat.

Para murid semakin dibuat tegang saat langkah bu Lastri -guru yang terkenal dengan kekillerannya- semakin dekat menghampiri Airyn yang hanya diam menatapnya datar. Raut wajahnya sama sekali tidak terlihat takut dengan tatapan tajam guru muda itu. Hawa panas pun semakin meliputi ketegangan ini, hingga udara dingin yang dihasilkan dari kipas angin di tembok saja tak terasa sama sekali.

Berbeda  dengan siswi diujung saja, sudut bibir gadis itu terangkat diikuti dengan kedua tangannya menopang di dagu. Di sampingnya ada Meli yang notabenenya adalah sahabatnya mulai mendekat lalu berbisik. Meli menaikan sebelah alisnya menunggu bagaimana respon Clarissa, yang ditunggu justru nampak berpikir dengan idenya itu.

"Gimana, Ris?"

"Ide lo bagus, Mel." Meli tersenyum sinis melihat Clarissa menyetujui idenya, sementara itu bu Lastri melipat kedua tangannya di dada.

"Dari mana kamu? Kenapa baru masuk ke pelajaran saya?" Sebelum menjawab pertanyaan bu Lastri yang tengah menatapnya penuh dengan selidik, Airyn menoleh menatap para teman sekelasnya, gadis itu menyunggingkan bibirnya membuat siapa saja yang melihatnya akan mengerutkan keningnya. Bisik-bisik dari meja belakang pun mulai terdengar, sehingga membuat bu Lastri geram melihat keadaan kelas yang diajarnya ini tak terkendali. Diambilnya penghapus di atas meja lalu melempar ke meja belakang khususnya kubu murid perempuan.

"Kalian bisa diam tidak?!" Teriakan penuh tekanan itu mampu membuat keadaan kelas langsung senyap. Keheningan mulai melanda bahkan ada yang menahan napasnya, walaupun demikian suara napas itu sama sekali tidak akan terdengar oleh bu Lastri, tapi apalah daya, tidak ada satu pun murid lagi bersisik-bisik, hanya ada keheningan yang diselimuti ketegangan. Kembali pada bu Lastri yang menatap tajam Airyn, wanita muda itu melipat kembali kedua tangannya di dada seperti semula.

"Jawab, Layssie!"

Pandangan gadis itu beralih menatap guru muda di depannya ini, wajahnya sangat cantik, tapi sayang ... kekillerannya dalam mengajar cukup membuat murid lainnya meneguk air ludahnya.

"Dipanggil Pak Solihin, boleh saya duduk?"

Jawaban tenang tanpa ada rasa takut di mimik wajah Airyn cukup membuat teman sekelasnya mengerjap, begitupun dengan bu Lastri, guru muda itu mengangkat sebelah alisnya, tak ada lagi muka sangar yang ada hanya kebingungan terpancar di wajahnya, ditatapnya wajah Airyn lekat-lekat, setelah itu barulah ia menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, kamu langsung duduk," perintah Bu Lastri yang langsung diangguki oleh Airyn. Sebelum melangkah, ia pun membenarkan letak tasnya yang berada di bahu, jika sudah nyaman, berulah ia berjalan setelah mengucapkan kata terima kasih. Sudut bibir gadis itu terangkat membentuk sebuah seringai kala melihat Clarissa menselonjorkan sebelah kakinya guna untuk membuat ia celaka.

Sebelah alisnya terangkat melihat kejahatan apa lagi yang gadis ular itu perbuat. Tanpa rasa kasihan langsung saja ia menginjaknya dengan kuat membuat Clarissa terpekik oleh ulahnya.

"Katanya ratu bullying, giliran gue giniin langsung teriak. Lebay banget sih lo," bisik Airyn saat melewati bangku Clarissa. Ucapan Clarissa tertahan saat ingin membalas ucapan Airyn, suara bu Lastri lebih dulu menyentak untuk diam. Berbeda dengan Airyn yang hanya tersenyum penuh kemenangan.

Berbeda dengan Bagas yang masih diam di lantai, laki-laki itu meringis memegangi punggungnya terasa ngilu, tak bisa dipungkiri jika dorongan Airyn mampu membuatnya meringis. Kedua matanya tak lepas menatap pintu kelas Airyn, dirinya masih belum percaya dengan tindakan gadis itu. Ia terlalu syok oleh sikap Airyn kali ini. Banyak pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Tidak ada lagi Airyn yang manja, tidak ada lagi Airyn yang memberinya bekal sarapan, tidak ada lagi Airyn yang suka mengganggu kesehariannya di sekolah, semua itu seolah telah sirna.

Kepalanya menunduk menatap kedua tangannya, entah kenapa dirinya sekarang terasa hampa tanpa gangguan gadis itu. Dirinya hanya bisa menatap penuh harapan pada pintu kelas itu, rasanya ia ingin memeluk tubuh kecil Airyn, meneriaki gadis itu agar segera mengganggunya lagi dan lagi.

Pergerakan Bagas tak jauh dari pengelihatan Helina yang berdiam diri di ujung koridor menatap dengan wajah sendu. Sebelum melangkah menghampiri kekasihnya itu kepalanya menoleh ke samping dan belakang, agar tidak ketahuan oleh guru piket. Bisa habis dirinya dihukum jika ketahuan, setelah aman terkendali, barulah ia berjalan mendekati laki-laki itu dengan jantung yang berdebar. Jelas di mata Helina ketika Bagas memegangi punggungnya, tak sadar jika ia pun meringis.

"Pasti sakit," gumam Helina.

Dengan raut wajah cemas Helina berjalan mendekat menghampiri Bagas, kekasihnya itu masih meringis sembari bangkit berdiri. Ada keraguan dalam hatinya saat ingin membantu Bagas untuk berdiri, belum sempat tangannya memegang bahunya, Bagas lebih dulu menjauh.

"Diem Hel, jangan deket-deket, lo ngapain di sini? Kenapa gak masuk kelas?"

Ucapan Bagas kali ini membuat Helina spontan meneguk salivanya. Ditatapnya wajah laki-laki itu, yang ditatap justru menaikkan sebelah alisnya, dengan cepat Helina menoleh ke sembarang arah, dadanya berdegup kencang melihat ketampanan Bagas, tak dipungkiri jika dirinya telah jatuh hati kepada laki-laki itu.

Keduanya sama-sama diam tak bersuara saat Helina menoleh ke samping guna agar Bagas tidak bisa melihat kedua pipinya yang tengah merah merona. Ah sial, dirinya baper hanya tatapan sang most wanted Wilston.

"Gue cuma mau ngingetin buat lo, perjanjian tetap perjanjian, satu syarat lo gak boleh cinta sama gue, atau hubungan kita berakhir." Setelah mengucapkan kata itu Bagas berlalu pergi meninggalkan Helina yang terdiam oleh ucapan laki-laki itu.

Tatapan matanya tak lepas menatap punggung tegap Bagas dengan pandangan sayu, ucapan Bagas sangat tertohok di dada, perkataan itu bukan sembarang perkataan, melainkan sebuah peringatan keras agar ia tidak jatuh hati oleh laki-laki itu.

"Maafin aku Gas, aku udah jatuh cinta duluan," lirihnya. Sebelah tangannya mengusap kasar air mata di pipinya, bibirnya bergetar. Fakta itu seakan sebuah panah yang menghujam punggungnya, rasanya sakit sekali. Seharusnya ia sadar, jika ia hanya dijadikan sebagai boneka oleh Bagas guna untuk menghindar dari Airyn. Tak disangka, justru dirinya lah yang terjebak oleh perasaanya sendiri. Kepalanya menunduk diiringi dengan isakan tangisnya yang sangat memilukan.

Seharusnya, dirinya menolak ajakan Bagas untuk berpura-pura berpacaran. Sudah sangat jelas jika laki-laki itu menjadikannya seorang pacar untuk membuat Airyn menjauh. Seorang Bagas yang terkenal dengan sikapnya yang dingin dan arogan, membuat siapa saja akan terpesona, ditambah lagi dengan paras ketampanan laki-laki itu membuat kaum hawa menjerit, termasuk Helina dengan senang hati menerima ajakan Bagas untuk berperan sebagai pacar pura-pura.

To Be Continue

AIRYN'S  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang