Bab 1

17 3 0
                                    

Pria Tanpa Mata

Aku merasa beruntung bisa keluar rumah sepagi ini. Menuju stadion dekat komplek yang sudah otomatis menjadi tempat jogging. Belum banyak kendaraan bermotor berlalu-lalang, jalanan masih lengang dan udara masih segar. Sebab lainnya adalah tentu saja karena di sana belum banyak pengunjung yang akan jogging. Dan orang-orang yang datang ke sana ternyata bukan hanya dari perumahan-perumahan yang ada di sekitar stadion. Sebelumnya, yaitu tiga hari yang lalu, aku sempat tak sengaja mendengar percakapan dua orang, lalu menyebut satu daerah asal salah satu dari mereka. Aku tahu itu adalah perumahan elite di tengah kota. Jika aku yang datang dari perumahan terdekat saja sudah menganggap ini sangat pagi, entah jam berapa mereka berangkat dari rumahnya. Bisa jadi usai salat shubuh.

Setiap kali ke sana, aku tidak pernah tidak bingung meskipun hanya sekian detik. Apakah akan mengambil jalur ke selatan seperti orang pada umumnya? Atau arah sebaliknya ke utara, yang dilakukan sekian orang lainnya. Dan, hari itu, sebab sebelumnya sudah mengambil arah selatan, aku langsung lurus saja berjalan ke arah utara. Di depan bagian loket stadion, aku melakukan peregangan otot. Sementara beberapa orang telihat sudah memutari stadion, berdua, bertiga, atau sendirian sepertiku. Oh, tidak juga, bapak itu bersama anjingnya, yang tampak girang bisa berlari-lari pagi. Baiklah, baru sekitar tiga kelompok kecil saja. Jika sudah terlalu ramai, akan merasa tidak nyaman. Aku tidak suka keramaian.

Berapa target putaran kali ini? Ini kali ketiga aku mencoba merutinkan jogging. Dua jogging sebelumnya sekali putaran, jadi kali ini aku memutuskan menambah satu putaran, jadi dua putaran. Totalnya sekitar lima belas menit. Untuk pemula sepertiku, itu sudah bagus. Jangan terlalu over, supaya tubuh kita tidak kaget, bertahap saja. Begitulah informasi yang aku dapatkan.

Tali sepatu kukencangkan lagi, kemudian aku pun mulai berlari kecil dengan arah berlawanan dari sekelompok orang tadi. Di belakangku, sudah muncul lagi pak tua bersama anjingnya yang berwarna cokelat tua.

Di putaran kedua, di hadapanku aku melihat lelaki itu, melakukan peregangan di samping motornya yang dia parkir di tepi seberang stadion. Dia mengenakan jaket, yang ritsletingnya menutup hingga leher. Wajahnya tertutup masker. Lalu matanya tak terlihat, tertutupi rambut bagian depan yang menjuntai dari kening.

Siapapun yang melihatnya, kukira akan setuju kalau penampilan orang tersebut aneh. Memang masih pagi, tetapi apakah tidak gerah dengan cara berpakaiannya? Sengaja cari keringat? Ah, tetap saja, melihatnya entah mengapa aku yang merasa sesak.

Sekian langkah lagi saja aku akan melewatinya. Sekarang dia terduduk semi berbaring di aspal, mengangkat kedua kaki menggerak-gerakkannya berbarengan lalu bergantian seperti gerakan mengayuh sepeda. Tangan diletakkannya di belakang kepala.

Semakin dekat, tiba-tiba perasaan takut merayap. Jangan-jangan orang itu punya niatan lain. Dari penampakannya saja, yang serba tertutup itu, bahkan seperti tanpa mata, dia sudah sangat mencurigakan.

Gerakanku terhenti, ada yang menarik ujung baju, sangat kencang. Aku segera menyadari, dialah yang melakukannya. Lelaki yang cukup kuat, akan tetapi jika dia berniat jahat di tempat umum seperti ini, meskipun terbilang sepi, sudah ada orang-orang yang berdatangan.

Segera saja aku membalikkan badan, sembari mencoba menghentakkan ujung baju agar terlepas dari tangannya.

"Tolong jangan ganggu, ya? Karena saya juga kan, nggak ganggu! Kita di sini sama-sama menggunakan fasilitas umum."

Terdengar suara tawa kecil yang lirih. Tangannya yang ternyata masih menarik bajuku baru terlepas. Dengan kesal, aku merapikan bagian baju yang menjadi kusut tersebut. Mendongakkan kembali kepala setelahnya, memberi tahu nahwa aku tidak takut. Jari telunjuknya merapikan poni yang bentuknya memang tidak rapi, panjang ujung-ujungnya tidak sama, acak. Dan, saat itulah aku melihat matanya. Mata yang berbentuk daun. Tatapannya tajam dan ...

"Kamu jogging sambil melamun? Kok, bisa ya?"

Aku mengerjap, segera mengalihkan pandangan ke wajah yang masih tertutupi masker. Dia menjawab pertanyaan dengan melontarkan pertanyaan? Tipikal pendebat sekali. Aku menoleh ke sebelah kiri, saat anjing cokelat tua milik pak tua, berhenti di sampingku lalu menyalak ke arah lelaki tersebut. Pak tua menarik dan mengajak anjing itu pergi, mengatakan sesuatu dalam bahasa daerah yang tidak kupahami. Semacam memberi isyarat; tidak perlu ikut campur, bukan urusan mereka. Aku menjadi gugup, berharap justeru pak tua tadi ikut berhenti lalu menyelamatkanku. Kenyataannya tidak. Namun, di masa sekarang, semua orang memang cenderung lebih memilih tidak memedulikan hal sekitarnya. Sebab salah-salah, bisa berujung dia yang mengalami kesulitan. Kalau terjadi padaku, bisa dipastikan aku akan melakukan hal yang sama. Lebih baik cari aman saja.

"Fix. Kamu memang jogging sambil melamun" katanya lagi. Laki-laki itu, membungkuk memungut sesuatu lalu menyerahkannya kepadaku. "Tadi jatuh. Lumayan".

Tatapanku kini beralih ke selembar lima puluh ribuan. Tanganku menerimanya dengan pikiran yang bingung. Aku tidak membawa apa-apa, saat pergi tadi. Ponsel atau uang, semua kusimpan. Biar fokus, dan tidak tergoda macam-macam makanan yang digelar pedagang. Biasanya akan mulai berdatangan nanti mendekati pukul tujuh. Diet? Ya, sedikit. Perut sudah mulai membuncit.

Melihat dari bentuknya yang terlipat dengan sangat rapat, sepertinya itu uang yang tertinggal di saku, terlupakan dan ikut tercuci, lalu terjemur hingga kering. Hal seperti itu memang kerap terjadi. Walau seringnya, yang menjadi korban paling besar nominal dua puluh ribuan. Bisa jadi, saat aku pakai celana training, lembar berwarna hijau yang sudah semi tergulung itu, sudah hampir keluar.

"Tadi sudah aku panggil, tapi kayaknya kamu gak dengar. Jadi, ya... aku tarik bajunya."

Dia mengarahkan telunjuknya ke samping lututku, ke bagian baju yang masih terlihat kusut. Baju olahraga berbahan kaos yang belum lama ini kubeli dari online shop. Ya, ternyata mudah kusut.

"Oke, makasih." Tubuhku sudah membalik sekian derajat, tapi kemudian kembali menghadapnya, "oh, iya, maaf juga.soal sebelumnya. Saya sudah salah sangka". Aku berlalu, melanjutkan putaran yang belum selesai. Kecepatan kutambah. Ada rasa tidak enak sebab tadi otak mengira macam-macam. Kepala kugelengkan, diikuti embusan napas. Don't judge a book by its cover. Betul, tapi kan di zaman seperti sekarang ini, waspada harus selalu ada. Ahh, kepalaku mulai ribut sendiri lagi.

"Hei! Tunggu!"

Aku mendengar suara itu. Karena jelas-jelas, kali ini dia berteriak sangat keras. Sudahlah, aku tidak mau memperpanjang lagi. Paling, ujung-ujungnya mengajak berkenalan. Seperti kebanyakan pemuda yang sedang sendirian. Lanjut jadi iseng.

Sebelum TerlanjurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang