Bab 5

9 3 0
                                    

Pertemuan Kedua


Saras masih asyik mengamati tunas-tunas tanaman hias dalam polybag. Wajahnya menunjukkan kalau dia begitu semangat dan antusiasnya. Dia menunjuk beberapa tanaman hias, setelah puas memilahnya.

Tadi di kediamanku Kak Saras meminta beberapa tanaman hias. Kelompok Aglonema. Dan aku seketika mengerang menolaknya. Bukan kenapa-kenapa tapi jenis yang diminta Kak Saras, akupun baru memilikinya. Masih sedikit helai daun yang muncul dari tangkai-tangkainya. Rasanya tidak tega. Seolah melepas anakmu yang masih bayi, masih menyusu untuk dibawa pergi seseorang.

Merawat tanaman hias adalah salah satu terapi yang kujalani. Usai mengalami hal paling terpuruk dalam hidupku. Ditinggalkan karena kekurangan yang kau punya, tetapi bahkan kau pun tidak ingin itu terjadi, bagaimana rasanya? Mungkin berbeda, mungkin kau kuat, tangguh dan tegar. Hanya saja, untukku, meskipun sudah berlalu sekian bulan, jika mengingatnya masih saja aku tidak mengerti. Apa salahku? Apa sebuah dosa besar ketika aku dinyatakan tidak bisa memiliki anak? Ada sesuatu yang terjadi dengan rahimku. Sekian kali keguguran, entah karena kondisi Rahim yang kata dokter tidak kuat ataupun posisi janin yang berisiko. Meski bedrest sekalipun kulakukan, tetap saja pada akhirnya aku tidak bisa lolos ujian untuk menjadi seorang ibu. Hingga kemudian keputusan itu diucapkan padaku. Perpisahan. Ketika itu aku hanya diam. Saking shock dan tak percaya jika aku diperlakukan seperti itu. Seolah memiliki anak adalah segalanya dalam kehidupan rumah tangga. Aku seketika merasa, jika 7 tahun kemarin hanya aku yang berjuang. Lalu saat hasilnya tak juga kunjung memuaskan, aku dicampakkan.

Tiga bulan pertama aku seperti mayat hidup. Berjalan di dalam rumah dengan tatapan yang tidak jelas. Berakhir di sudut jendela, memandang keluar lalu tahu-tahu saja air mata merembesi pipi. Perkiraanku terlalu jauh meleset. Aku sangka, saat mengalami kesedihan, kami akan saling menguatkan dan memberi dukungan. Namun, yang terjadi, lelaki itu, yang kini namanya tak pernah ingin kusebut lagi, lebih memilih saran yang datang secara sepihak. Untuk mencari wanita lain. Bahkan yang menyakitkan, di hadapanku mereka menyebut soal memilih istri yang subur, yang sebetulnya dilihat dari fisik pun sudah dapat diprediksi. Ketika semua terlontar dari mulut-mulut itu, jelas-jelas keberadaanku tidak lagi mereka acuhkan. Aku seolah sudah tersingkir, meskipun aku bahkan masih di sana.

Seorang wanita paruh baya menepuk lenganku perlahan. Aku tersadar dari pikiran yang baru saja menerawang ke masa silam. Tanaman sansieveira ada di dekatku. Tanganku bahkan sedang memegangi bagian pinggirnya. Aku menoleh ke kiri, dan mendapatinya yang terlihat kebingungan.

“Bisa bantu pilihkan tanaman hias yang cocok untuk digantung?” katanya, memberiku senyuman tulus. Aku membalik sebentar tubuhku untuk mengusap wajah dan menyeka air mata yang ternyata menyembul di sudut-sudut mata. Menghela napas panjang sesegera mungkin.

“Bisa. Ibu ingin berapa jenis tanaman?” ujarku, sembari mengedarkan pandangan ke beberapa bagian sisi florist. Khusus menggantung beberapa tanaman. Kukira aku sudah disangka ibu ini sebagai salah satu pekerja di sini. Tapi, tak apa. Lagipula dari tadi aku hanya jalan mondar-mandir. Melihat-lihat saja. Sebab mememang tidak berniat membeli satu tanaman pun. Karena baru dua hari lalu aku kemari. Aku salah satu pelanggan di sini, jadi cukup hapal juga beberapa spot tanaman-tanaman hias. Pemiliknya memang rapi dan detil, mengelompokkan tanaman demi tanaman sesuai dengan jenisnya.

Aku mengangguk kecil, meminta wanita itu mengikutiku. Kemudian kami bertiga melangkah seperti berbaris. Wanita itu sepertinya ditemani anak lelakinya. Dan dia terlihat tidak menikmati berada di sini.

Deretan Creeping Charlie dalam pot-pot menyambut kaki-kaki kami. Daun-daunnya yang rimbun, berwarna hijau terang seketika menarik perhatian. Salah satu yang paling kusuka. Sebab memang begitu menyegarkan mata. Banyak pecinta ataupun pengoleksi tanaman menyebutnya dengan mint kw, sebab bentuk daunnya yang agak mirip dengan daun mint.

Wanita di belakangku, menyentuh daun-daun kecil yang menjuntai dengan sangat hati-hati. Agaknya sekelompok Creeping Charlie ini, baru masuk florist, masih menunggu untuk ditata. Biasanya memang meskipun termasuk kategori tanaman hias gantung, hanya beberapa saja yang ditaruh menggantung sebagai sampel. Sebagian yang lainnya disimpan di atas meja panjang khusus, sehingga tangkai pun daun yang sudah tumbuh panjang bisa terlihat menjuntai dengan cantik.

Di sisi lainnya berderet juga Tradescantia yang sangat umum dimiliki semua rumah, Geranium, Sirih Gading dan Dischidia. Dilanjut dengan tempat khusus untuk anggrek-anggrek. Berada di sini rasanya menyenangkan bagiku. Jika penat dan benar-benar tidak ingin melakukan apa-apa, aku akan datang ke mari. Meski untuk hanya menikmati, bisa habis sekian jam terlalui.

“Ini kayaknya lucu, Cliff. Lihat sini, deh.” Wanita tersebut menoleh sebentar ke arah puteranya. “Namanya apa ya, Mbak, tanaman ini? Teman-teman Mom di sana beberapa memfavoritkan ini juga, Cliff.”

Lelaki itu mendekati ibunya berbarengan denganku yang merasa dipanggil.

“Oh! Itu Sedum Morgan--”

“Aku gak suka, Mom! Jangan beli yang itu, please!”

Kata-kataku terpotong dengan kalimat pria tersebut. Aku dengan jelas melihat jika tubuhnya bergidik. Dia bahkan memeluk dirinya sendiri sembari menjauh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencari-cari tanaman yang bentuknya lebih nyaman di mata. Sedum Morganianum yang rimbun memang agak membuat geli. Tampak seperti daun-daun yang berisi, gemuk dan terlalu bulat.

Wanita dengan kulit wajah yang mulus di usianya tersebut menatap heran puteranya lalu melihat ke arahku dengan ekspresi bertanya. Aku hanya memberi penjelasan kecil tentang kemungkinan mengapa Sedum Morganium ini membuat bergidik. Kemudian mencoba memberinya masukan untuk mengambil tanaman hias gantung yang sekiranya cantik, indah dan menyenangkan mata secara umum.

Sebuah nada berbunyi terdengar dari dalam tas tangan, ibu itu memberiku gesture yang seolah meminta ijin, menepi sejenak. Kukira untuk menerima panggilan masuk ke ponselnya. Lelaki yang kuyakin merupakan putranya itu menghampiriku setelah beberapa saat terlihat berbicara dengan ibunya barusan-- sebelum menempelkan ponsel ke dekat telinga. Memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribuan. De Javu. Rasanya aku pernah mengalami ini. Tangan seorang pria menyodorkan uang lima puluh ribu. Bahkan posisi jemari dan caranya memegang benda pun sama.

Namun, cepat-cepat aku menguasai keadaan.

“Maaf, bayarnya bukan ke saya. Ada bagian khusus di sana.” Aku mengarahkan telapak tangan ke salah seorang yang baru saja terlihat. Pemilik sesungguhnya florist ini.

“Tidak apa-apa, sama saja. Berapa semuanya?” Lelaki itu agak memaksa.

“Saya bukan pegawai di sini, kok. Saya sama-sama pelanggan. Sudah, ya.”

Wajah lelaki itu kebingungan. Aku mengangguk kecil, bermaksud pamit. Hendak mencari lagi di mana kakakku Saras. Apa dia sudah menemukan tanaman-tanaman yang diinginkan?

Kakiku melangkah menjauh, tetapi entah mengapa leher dan kepala kembali menoleh ke belakang. Mencari-cari sosoknya. Apa dia sudah selesai? Saat itu dari arah berlawanan, ibunya yang sudah kembali dan seperti diberitahu sesuatu oleh anaknya, datang dan menyusulku. Untuk mengucapkan terimakasih dan maaf sekaligus, karena telah mengira aku salah seorang pegawai toko bunga.

Aku terdiam dengan kedua tangan menangkup yang digenggam erat oleh ibu tersebut. Kemudian sama-sama berlalu usai saling membungkuk kecil.
Di sana, aku menangkap sosok puteranya yang seperti mencari-cari sesuatu dengan terburu-buru. Kemudian menyerah dan merangkul sang ibu menuju mobil mereka. Mengambil  tanaman lain lagi yang masih ada dalam polybag yang diserahkan pegawai toko yang asli.

Saras sudah selesai juga kulihat. Maka kuputuskan untuk menunggunya di luar florist, di tepi jalan. Aku khawatir jika terus saja di dalam, bisa-bisa aku tergoda juga untuk menambah koleksi. Ah, cukup jatah untuk pasukan hijau bulan ini.

Mobil kuning itu melaju perlahan lalu berhenti di dekatku. Rupanya sepasang ibu dan puteranya tadi.
“Maaf, ikat rambutmu ternyata tertinggal di rumah. Aku minta nomormu saja.”

Giliranku yang sekarang kebingungan. Kemudian paham dengan raut wajahku yang barangkali tampak di matanya terbengong-bengong, lelaki itu mengambil sesuatu dari kursi belakang mobilnya. Memasangkan topi hitam ke atas kepalanya. Mengenakan masker yang juga berwarna hitam, menutupi wajahnya.

Dan aku terhenyak.

***

#SebelumTerlanjur
#KiranaWinata

Sebelum TerlanjurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang