Author's POV
Debu yang berterbangan di udara sudah membuat (Y/n) bersin berkali-kali. Tak terhitung berapa kali. Sejak pagi tadi, gadis itu sudah berkutat di gudang sebelah rumahnya. Waktu sudah berlalu cukup lama semenjak terakhir kali ia membersihkan gudang itu. Ditambah, baru beberapa hari setelah kepindahannya ke Tokyo demi mengikuti perintah kakaknya. Alhasil, debu di dalam sana semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
"Hatsyii!"
Tangan (Y/n) mengibas-ngibas di udara. Mencegah debu untuk mendekati hidungnya agar ia tidak bersin lagi. Sudah cukup ia bersin hari ini. Kemungkinan orang lain akan berpikir jika dirinya tengah dibicarakan oleh orang lain. Mengingat mitos yang dikatakan oleh kakaknya. Ya, mitos tentang jika dirinya bersin maka itu artinya seseorang tengah membicarakannya.
Mata bulatnya tertuju sebuah kardus di sudut gudang. Warna kardus itu yang berbeda dengan kardus yang lain menarik perhatiannya. Ia mendekatinya sambil menggeser beberapa kardus yang menghalangi langkahnya. Debu yang cukup tebal melapisi permukaan kardus itu. Namun, (Y/n) hanya mengabaikannya dan membuka bagian atas kardus tersebut.
Perasaan lelahnya telah terbayarkan ketika ia melihat apa isi kardus itu. Gadis itu langsung tersenyum lebar dan menghela napas lega.
Sebuah tas biola lengkap dengan biola dan bow di dalamnya.
(Y/n) langsung mengeluarkannya dari gudang dan menaruhnya di teras rumahnya. Kemudian, ia kembali ke dalam gudang untuk membereskan kekacauan yang telah ia perbuat.
Beberapa menit setelah merapikan gudang, (Y/n) kembali ke dalam rumahnya. Tak lupa ia membawa tas biolanya tadi.
Tangannya bergerak membuka tas biola itu dengan perlahan. Manik (e/c)nya langsung berbinar-binar ketika ia melihat isinya. Bibirnya membentuk senyuman yang lebar.
"Aku tidak akan membiarkanmu tertutupi oleh debu lagi, Vio."
Begitulah ia memanggil biolanya. Bahkan sejak pertama kali ia mendapatkan biola itu dari orang tuanya, gadis itu langsung memberikan nama untuk sang biola. Meskipun biola itu hanyalah benda mati, namun ia cukup senang ketika ia memiliki teman walaupun tidak nyata dan tidak bisa diajak berbicara.
Tetapi, itu hanya sementara. Sebelum apa yang dikatakan oleh orang tuanya membuatnya tak ingin menyentuh biola itu lagi. Bahkan, melihatnya.
(Y/n) menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak boleh memikirkan atau bahkan mengingat-ingat hal menyakitkan itu lagi. Sudah cukup ia tersakiti di masa lalu. Kini, ia hanya perlu fokus ke masa depannya.
Tentunya, dengan kenangan yang baru bersama biola di depannya itu.
***
Hari ini berbeda dengan kemarin. (Y/n) membawa biola yang ia cari dan akhirnya ia temukan. Biola itu kini ikut menemaninya ke sekolah. Tentunya setelah berkutat dengan dirinya sendiri selama beberapa saat hingga akhirnya ia bisa membuat keputusan untuk membawa biola itu bersamanya.
Gadis itu tidak langsung berjalan menuju kelasnya, melainkan ke sebuah ruangan kosong di ujung koridor lantai tiga.
Suara biola yang dimainkan dari dalam sana terdengar sangat apik. Menandakan jika sang pemain sangatlah mahir dan sudah bermain selama bertahun-tahun lamanya.
Sebuah senyum mengembang di wajah (Y/n). Gadis itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam ruangan itu. Ia masih ingin mendengar alunan musik yang dimainkan oleh Inumaki. Karena ia yakin, jika ia masuk ke dalam, lelaki itu pasti akan berhenti bermain dan justru bertanya mengapa (Y/n) berdiri di sana.
Tepat di saat suara biola itu mulai terdengar pelan, (Y/n) menggeser pintu itu. Ketika ia berdiri di daun pintu, Inumaki pun menurunkan biola dari bahunya. Sebagai tanda lagu yang ia mainkan telah usai.
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'When I See You ✧ Inumaki Toge
FanfictionKetika aku melihatmu, duniaku berubah. Seratus delapan puluh derajat. Kau berdiri di sana. Dengan biola di tanganmu yang ringkih dan alunan musik yang merdu kau mainkan. Namun, pada akhirnya, belum sempat aku sadar apa yang terjadi, sesuatu tengah m...