Author's POV
Tangan gadis itu menatap kosong ke arah bow di tangannya. Tidak ada yang aneh dari bow itu kecuali beberapa senarnya yang telah putus. Helaan napas keluar dari bibirnya. Meratapi nasib dari bow di tangannya itu. Toh sudah putus. Apa yang bisa ia perbuat? Menyambungkannya kembali? Tentu saja, itu mustahil.
Sepertinya pilihan satu-satunya ialah membeli yang baru.
Setelah pemikiran seperti itu muncul di dalam kepalanya, (Y/n) melirik ke arah celengan berbentuk kepala Doraemon di atas meja belajarnya. Celengan itu transparan sehingga isinya dapat terlihat dari luar meskipun samar. Jika dilihat dengan saksama, isinya cukup banyak. Ya, usahanya selama ini dengan menyisihkan uang saku dari kakaknya memanglah bukan hal yang sia-sia.
Memikirkan tentang kakaknya, seketika (Y/n) teringat ia belum menghubungi kakak laki-lakinya itu semenjak telepon terakhir mereka minggu lalu. Akhirnya, gadis itu meraih ponselnya dari atas meja nakas.
Ponselnya pun dinyalakan. Ia segera mengetik beberapa kata untuk kakaknya. Awalnya, (Y/n) ingin meneleponnya. Namun, niat itu ia urungkan karena khawatir akan menganggu pekerjaan kakaknya saat ini. Alhasil, ia hanya mengetik kata-kata singkat untuknya.
Dijatuhkannya tubuhnya ke atas tempat tidur. Punggung lengan kanannya menutupi matanya yang terpejam. Napas yang berhembus keluar dari mulutnya. Ah, ia ingat. (Y/n) belum memberitahu kepada kakaknya tentang ia yang bermain biola lagi. Ia memang belum mengatakannya namun niatnya memang sudah ada. Hanya saja, terlalu banyak hal yang terjadi belakangan ini hingga akhirnya membuat dirinya lupa. Padahal hal tersebut cukup penting.
Namun, saat ini hal yang paling utama yang harus ia lakukan ialah memikirkan tentang bow di tangannya itu.
***
"Gomen, Inumaki-kun. Kita tidak bisa berlatih hari ini."
Itulah kalimat yang pertama kali (Y/n) ucapkan ketika ia membuka pintu dan mendapati Inumaki tengah bermain biola. Bahkan (Y/n) tidak menunggu di luar seperti biasanya hanya untuk sekedar mendengarkan melodi yang dimainkan lelaki itu hingga selesai.
Biola di bahu Inumaki pun diturunkannya dari sana. Tatapannya hanya tertuju pada (Y/n) yang masih berdiri di ambang pintu.
"Mengapa?"
Respon yang diberikan oleh Inumaki berhasil membuat (Y/n) berkeringat dingin. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya namun bibirnya masih terkunci rapat. Kata-kata yang sudah ia rangkai seperti tersangkut di kerongkongannya.
"Hmm... Secara tidak sengaja, aku merusak bow milikku kemarin," jelasnya singkat seraya menunduk.
Tak ada jawaban yang diberikan oleh Inumaki. Tidak mendapati jawaban apapun dari Inumaki, (Y/n) akhirnya menengadahkan kepalanya secara perlahan. Raut wajah lelaki itu sulit dijelaskan oleh (Y/n). Seperti tidak ada perasaan apapun yang bisa digambarkan.
"Hari ini kita tidak latihan."
(Y/n) menunduk sekali lagi saat ia mendengar pernyataan final Inumaki. Lalu, gadis itu pun mengangguk paham. Membalikkan tubuhnya dan berniat untuk menutup pintu ketika Inumaki tiba-tiba memanggilnya.
"(F/n)."
Yang dipanggil pun menoleh dan mengurungkan niatnya untuk kembali ke kelas. Raut wajahnya menyiratkan penuh tanda tanya.
"Terima kasih."
"Eh, untuk apa?" balas (Y/n) bingung. Jujur, ia sama sekali tidak tahu Inumaki berterima kasih untuk apa. Justru yang seharusnya berterima kasih adalah (Y/n). Inumaki telah mau direpotkan olehnya hanya sekedar untuk membagi ilmunya kepada gadis itu.
"Untuk ini."
Inumaki mengangkat tangan kanannya yang sejak tadi terkepal. Ternyata di baliknya terdapat sebuah gantungan kunci yang sempat (Y/n) lupakan. Gadis itu benar-benar lupa tentang pasangan gantungan kunci miliknya yang telah ia berikan pada Inumaki sebagai jimat keberuntungan.
"Ah, rupanya tentang itu." (Y/n) tersenyum lebar. "Jaga baik-baik ya, Inumaki-kun."
Tak disangka, Inumaki mengangguk. Ia memasukkan kembali gantungan kunci itu ke dalam saku celana seragamnya sambil berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menghilangkan barang pemberian dari gadis di depannya.
***
Langit yang berwarna jingga menunjukkan hari telah senja. Sang mentari sudah bersiap di ufuk barat. Ia telah menyelesaikan tugasnya hari ini.
Sama dengan para murid di sekolah (Y/n). Mereka langsung berhamburan keluar dari kelas ketika bel pulang sekolah berbunyi. Pulang sekolah sepertinya merupakan hal yang mereka tunggu.
"Apa yang kau tunggu?"
Pertanyaan itu menyadarkan (Y/n) yang tengah memandang ke luar jendela. Menatap ke arah murid yang satu per satu keluar dari area sekolah.
"Ah, Inumaki-kun." (Y/n) menyebut nama si pelaku yang membuatnya mengalihkan pandangan dari jendela. "Aku sedang tidak menunggu apa-apa."
"Kau tidak pulang?"
"Hari ini adalah jadwal piketku," jawab (Y/n) yang baru saja teringat dengan jadwal piketnya sendiri.
"Oh."
Kini giliran (Y/n) yang bertanya. "Kau sendiri mengapa belum pulang?" Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke sudut kelas. Mengambil sapu beserta pengki dari sana.
"Aku menunggumu."
Gerakan tangan (Y/n) yang tengah menyapu berhenti begitu saja. Sontak kepalanya menoleh ke arah Inumaki yang masih diam di posisi yang sama.
"Eh? Apa maksudmu?" tanyanya menuntut penjelasan.
"Tidak, bukan apa-apa."
Setelah mengatakan itu, Inumaki berjalan keluar dari kelas. Tanpa menoleh lagi ke arah (Y/n) yang masih dilanda kebingungan.
***
Yo minna!
Diriku udah kehabisan stok kata-kata untuk diketik di sini. Jadi, aku cuma mau bilang terima kasih kepada kalian yang udah baca dan vomment(*´▽`)ノノ❤✨
I luv ya!
Wina🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'When I See You ✧ Inumaki Toge
FanfictionKetika aku melihatmu, duniaku berubah. Seratus delapan puluh derajat. Kau berdiri di sana. Dengan biola di tanganmu yang ringkih dan alunan musik yang merdu kau mainkan. Namun, pada akhirnya, belum sempat aku sadar apa yang terjadi, sesuatu tengah m...