Tubuhnya mematung.
Ia sudah mendapat firasat aneh ketika suara mobil berkendara itu terdengar kental dari dalam kamarnya. Ia mengintip melalui celah gorden dan mendapati sebuah mobil hitam dengan lampu merah yang menyala terang. Cahaya itu begitu menyilaukan dan membuat matanya terpejam. Tidak, bukan cahaya itu yang membuat matanya tertutup rapat. Orang yang mengendarai mobil itu jauh lebih menyakitkan untuk dilihat oleh mata hatinya.
Ia menutup gorden tersebut dan berlari keluar kamar menuju tangga. Ia sempat bimbang apakah ia harus mengunci pintu kamarnya rapat-rapat atau berlari ke luar untuk melihat objek yang datang itu. Meskipun hatinya tersakiti, kakinya tetap berlari ke sumber rasa sakit tersebut. Matanya menangkap seorang pria paruh baya dengan stelan formal dengan raut wajah datar. Sebagian rambutnya terlihat memutih, alisnya yang tebal tampak kaku, sorot matanya tajam dan bibirnya membentuk sebuah garis lurus. Dia tampak jauh berbeda dengan terakhir kali ketika Young-ji melihatnya. Senyum yang dahulu terukir indah dalam hatinya telah pupus digantikan oleh wajah datar dengan tatapan yang mengintimidasi. Orang dengan perawakan itulah yang selama ini ia panggil sebagai papa.
"Kenapa kau di sini?"
Young-ji bisa mendengar suara mamanya yang muncul dari dapur. Pria itu berjalan masuk ke ruang tamu dan menaruh sepatunya di rak tanpa menatap istrinya. Ia hanya menghela nafas panjang saat melihat keadaan rumah yang begitu sepi dan terasa semakin mencekam karena kehadirannya.
"Aku akan pergi besok subuh. Malam ini, aku tidur di sini." Ucapnya tegas. Dia juga tidak bertanya apa kabar sang istri setelah sekian lama tidak berjumpa. Apalagi bertanya tentang Young-ji, hal itu terkesan lebih tidak mungkin. Putri kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa mungkin tidak bernilai bagi pria sepertinya. Tujuan hidup pria itu adalah bekerja keras bagi perusahaan dan mendapat promosi setiap tahunnya. Alasan mengapa dia kembali malam ini adalah karena lokasi rumahnya lebih dekat dengan tempat tujuan dibanding rumah dinasnya.
"Park Jin-woong! Siapa bilang kau bisa masuk dan keluar sesukamu? Sudah berbulan-bulan kau tidak kembali dan ini yang kau lakukan?" Mama Young-ji berteriak. Emosi itu tak dapat lagi ia kendalikan, kejadian hari itu seperti kembali direka secara jelas di depan mata Young-ji.
Young-ji tertohok mendengar pertanyaan tersebut. Kakinya lemas bagai agar-agar. Dilihatnya sang papa kini sudah menatap istrinya datar, seakan keduanya baru berkenalan lima menit yang lalu. Ini masalah terbesar dalam keluarganya, ketika papa dan mamanya tidak jauh berbeda dengan orang asing.
"Apapun katamu, ini rumahku. Sertifikat rumah ini adalah atas namaku. Kau tidak punya hak untuk berkata apapun, mengerti?" Ujarnya dingin.
Young-ji tidak kuat lagi. Ia segera berlari ke kamar dan memukul gulingnya. Ia ingin sekali menampar papanya karena mengatakan hal yang terlewat kejam. Namun, ia hanya bisa melampiaskan amarahnya pada sebuah benda mati karena ia tahu jauh dalam hatinya, pria itu masih menempati sebuah relung yang tak bisa ia cabut atau hilangkan.
Ia terdiam ketika pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok yang sangat ia rindukan namun ia hindari pada saat yang bersamaan.
"Apa kau berpacaran?" tanya Papanya dengan intonasi layaknya detektif sedang menanyakan tersangka kasus.
"Kenapa tiba-tiba penasaran dengan hidupku?" Young-ji bertanya balik. Sekarang ia sadar dari mana sorot mata tajamnya itu berasal. Ternyata itu berasal dari Papanya.
"Ada yang melaporkan padaku tentang kau berkeliaran dengan laki-laki sembarangan." Balas Papanya santai. Pria itu menghidupkan saklar lampu dan menatap wajah putri semata wayangnya yang banyak berubah. Namun, ia tidak menampakkan gejolak emosi apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD BOY FAVORS ME ( Sudah Terbit, Ready Stock Di Shopee)
Fanfiction"Jika aku bilang dulu kita pernah berpacaran, apa kau percaya?" Tanya Jung-kook. "Memangnya aku bodoh? Dulu aku bersekolah di Tokyo. Kita tidak saling mengenal." Jawab Young-ji Jeon Jung-kook pergi ke Seoul untuk menjadi seorang penyanyi. Bertemu d...