D U A : "Ngantuk"

2K 217 16
                                    

***

Dewa menguap lebar lebar sambil melangkah malas menuju meja makan. Sedang matanya seolah susah untuk dipaksa terbuka. Pemuda itu masih terlihat mengantuk sekali. Tentu saja. Dia hanya tidur tak sampai satu jam lamanya. Dan semua itu karena abang galaknya yang sekarang sedang menyesap teh hangatnya di meja makan dengan tenang. Melihat abangnya seketika membuat perasaan sebal menyeruak dalam dadanya.

Dewa pun menghempaskan pantatnya ke kursi di mana dia biasa duduk. Tapi belum juga ada beberapa menit sejak dia menguap terakhir kali, kini mulutnya sudah terbuka lebar-lebar kembali. Aish! Kantuknya kini benar-benar terasa sangat menyebalkan. Tapi ternyata ada yang lebih menyebalkan dari pada itu. Ya apalagi jika bukan ocehan abangnya?

"Kalau nguap itu ditutup mulutnya Dewa. Berapa kali sudah abang bilang? Entar kalau ada lalat masuk baru tahu rasa." Kata Juna mengomentari sekaligus menasehati adiknya yang memang agak bar bar dan kurang sopan itu. Bisa-bisanya menguap lebar-lebar begitu di depannya. Padahal Juna sudah sering sekali mengajarinya tatakrama.

"Haduh bang Juna berisik banget pagi-pagi." Kata Dewa sambil menyingkirkan piring di depannya. Lalu setelah itu dia melipat tangannya di tempat piring tadi dan merebahkan kepalanya diatas lipatan tangannya. Kemudian dia mulai memejamkan mata.

Juna yang melihat adiknya dan mendengar balasan Dewa barusan hanya bisa menghela napas sabar. "Kamu tuh kalau dibilangin, didengerin kenapa sih?"

"Udah didengerin."

"Tapi gak kamu lakuin."

Dewa Cuma mendengus. Lalu tidak mau menggubris apapun lagi perkataan abangnya. Dia ingin tidur. Meski hanya lima menit saja. Tapi abangnya itu sepertinya memang senang merecoki Dewa.

"Sekarang bukan waktunya tidur Dewa, tapi sarapan. Bangun!" Perintah Juna yang tentu saja dapat didengar dengan jelas oleh Dewa. Tapi anak itu malah menutup kedua telinganya tanpa mau membuka matanya sama sekali.

"Dewa, bangun abang bilang!" Ulang Juna, sambil menatap adiknya tajam. Tapi percuma saja. Toh Dewa yang memejamkan mata tidak akan mungkin melihat pelototannya. Dan anak itu masih bergeming. Juna pun terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya. Yaitu menggelitik Dewa. Sambil berkata, "Bangun gak?! Bangun Dewa!"

Terbukti bahwa jurus terakhirnya ampuh. Kini Dewa yang kegelian sudah duduk dengan tegak, meski wajahnya makin merengut menatap Juna.

"Abang ihhh-!" Dewa hanya bisa bersungut-sungut sebal sambil menatap kesal ke arah abangnya. Tapi karena gelitikan abang Junanya, kini dia benar-benar bisa bangun sepenuhnya. Yah meski kantuknya juga belum sirna. Juna lalu mengacak rambut Dewa yang memang sudah acak-acakkan.

"Kamu gak sisiran ya?" kata Juna perduli amat. Dewa saja masa bodoh sama penampilannya.

"Bodo amat bang. Lagian Dewa tetap ganteng kok."

"Dih! Kepedean kamu."

Dewa tak membalas lagi. Kini dia mengambil piringnya kembali yang tadi sempat dia singkirkan. Namun ketika dia ingin mengambil roti selai yang sudah disiapkan di depan jangakauannya terhenti diudara, ketika tanpa diduganya abangnya sudah meletakkan roti ke piringnya. Dewa melirik abangnya agak tak mengerti.

"Di sana ada yang isinya selai kacang." Juna melirik beberapa roti di piring yang sudah disiapkan bi Sari. "Abang gak mau kamu gatel-gatel di sekolah. Makan yang ini. Abang sudah olesin selai cokelat." Kata Juna tanpa diperintah. Dia agaknya sudah mengerti dengan ketidakmengertian yang terpampang jelas di wajah adiknya ketika menatapnya.

Dewa memang alergi kacang. Tapi Juna kebalikannya. Dia sangat menyukai kacang. Apalagi selai kacang. Jadi biasanya bi Sari sudah menyiapkan roti isi selai kacang untuk Juna dan roti isi selai cokelat untuk Dewa. Tapi mengingat Dewa sedang setengah mengantuk, Juna tidak mau ambil risiko adiknya jadi alergi karena salah mengambil roti.

DEWAJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang