T I G A B E L A S : "Mengkhawatirkan"

1.2K 130 2
                                    

***

Dewa duduk melepas lelah di kursi panjang yang ada dipinggir lapangan. Kursi itu tepat berada dibawah pepohonan yang rindang. Membuat Dewa nyaman berada di sana sambil mengibas-ngibaskan tangan sebagai kipas tanpa harus menghalau terik matahari yang serasa membakar kulitnya.

Beberapa menit yang lalu bel tanda berakhirnya hukumannya telah berdentang. Membuat Dewa segera menepikan diri di tempat itu sembari memikirkan apa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu antara dirinya dan Thalia. Kejadian itu masih terputar jelas dalam benaknya. Membuatnya harus menanggung perasaan sakit dan penyesalan yang begitu besar setiap kali mengingatnya. Argh! Dewa tahu dia memang sudah melakukan kebodohan yang teramat hebat. Tapi hanya itu yang ada dipikirannya setiap kali dia bertemu dengan Thalia. Apalagi sejak dirinya memiliki penyakit itu ditubuhnya. Satu-satunya hal yang dia ingin lakukan adalah menjauhkan dirinya sendiri dari gadis itu. Karena entah mengapa Dewa memiliki firasat menyedihkan jika ia terus membiarkan diri dan terlebih hatinya sendiri terlibat semakin jauh dengan Thalia.

Dewa menghela napas agak panjang. Tepat saat itulah bahunya di tepuk oleh sebuah tangan. Dewa yang sedikit terperanjat segera mendongakkan kepala, dan baru diketahuinya bahwa kedua temannya sudah berada di hadapannya. Bahkan sekarang duduk di samping kanan dan kirinya nyaris bersamaan. Dewa menoleh ke kiri dan ke kanan sebentar lalu menggurutu kemudian.

"Kalian tuh, bisa gak sih bikin suara kalau dateng?"

"Lah! Dari tadi kita panggilin, lu gak denger emang bray?" sahut Reza yang menurutnya sudah memanggil-manggil Dewa tadi bahkan sebelum dirinya sampai di tempat sahabatnya itu.

Mendengar jawaban Reza, Dewa mengernyitkan dahi. "Kapan? Gue gak denger tuh."

"Ya itu berarti lu budeg!" timpal Reza lagi, membuatnya harus berakhir ditimpuk jidatnya oleh Dewa.

"Sialun!" Reza hanya bersungut-sungut, tanpa ada niat membalas. Kalau tidak ingat Dewa sedang sedikit tidak enak badan, dia tidak akan segan segan membalas jitakan Dewa barusan.

Sedang Yoga hanya terkikik-kikik di tempat. Lalu bertanya serius setelah tawanya usai. "Lu baik-baik aja kan Wa?" dia masih tidak bisa mengkhawatirkan Dewa. Wajah anak itu tidak terlihat baik.

"Mn." Dewa hanya berdehem sekenanya.

Tapi itu tak lantas membuat Yoga langsung percaya. Tangannya pun terangkat demi meraba kening Dewa. Dia harus memastikan sendiri sejak perkataan Dewa kadang tidak bisa dipercaya. "Kening lu anget Wa." Ucapnya kemudian. Wajahnya mulai cemas lagi memandangi Dewa.

Dewa menghembuskan napas lelah. Dia segera menyingkirkan tangan Yoga yang menempel di keningnya dengan malas. Seharusnya dia senang sebab teman-temannya perduli padanya. Tapi diperlakukan seperti ini, ternyata membuat sisi hatinya yang lain malah jadi tidak nyaman. "Ya anget lah. Lu pikir gue tadi berjemur di mana? Di bawah rembulan?" jawab Dewa sarkastik. Dia ingin menyudahi kecemasan Yoga yang membuatnya malah merasa bersalah.

Kini giliran Reza yang cekikikan. Tangannya terulur di belakang bahu Dewa demi mencapai kepala belakang Yoga lalu menoyornya dengan semangat. "Ah begok lu ah Yog! Ya kan si Dewa barusan berdiri dibawah matahari. Gimana sih lu?"

Yoga langsung membalas toyoran tak sopan Reza dengan tak kalah bersemangatnya. "Kampret lu!"

"Eh udah udah! Kalau mau berantem jangan di sini. Di tengah lapangan aja noh. Sekalian gue jadi wasitnya." Dewa menengahi. Membuat pertikaian kecil diantara dua sohib karibnya terhenti.

Reza lalu mendapati sebotol air mineral dipangkuan sahabatnya. Membuat mulutnya yang doyan ngoceh segera mengeluarkan suaranya lagi. "Eh lu udah ke kantin aja Wa? Kapan coba? Bisa-bisanya dihukum masih keluyuran ke kantin."

DEWAJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang