D U A P U L U H S A T U : "Abang Terbaik" (END)

2.6K 201 29
                                    

***
Juna tengah menyuapi Dewa. Pagi ini adiknya itu sudah siuman. Membuat perasaan Juna semakin lega. Disendoknya bubur hambar dalam mangkuk yang dia pegang, lalu menyodorkannya ke depan mulut Dewa. Anak itu masih pucat tapi sudah tidak sepucat tadi malam. Dengan patuh Dewa membuka mulutnya dan memakan bubur suapan abangnya.

Dewa terlihat masih takut-takut. Dia tidak berani menatap abangnya langsung. Hanya curi-curi pandang sesekali. Juna bukannya tidak tahu. Tapi dia diam saja. Meski tidak marah pada Dewa tapi dia ingin adiknya itu memiliki perasaan bersalah karena telah melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri. Dia sengaja memilih diam dan tidak mengajak Dewa berbicara karena dia ingin Dewa merasa jera sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di lain hari.

Dewa menelan bubur yang dikunyahnya perlahan. Sambil menelan dia mencuri pandang menatap abangnya. Astaga. Dia benar-benar tidak tahan melihat abangnya diam seperti itu. Jadi Dewa pun pada akhirnya memberanikan diri membuka mulutnya untuk berbicara.

"Bang."

Juna tentu mendengar. Tapi dia pura-pura tidak mendengar. Dia berpura pura terus mengaduk buburnya. Seolah sangat asyik sehingga tidak ada apapun yang bisa mengganggunya.

Sedang Dewa tahu bahwa abangnya sengaja tidak menjawab panggilannya meski sejatinya abangnya mendengarnya. Jadi dia kembali bersuara dengan nada merengek. Berharap abangnya akan menolehkan kepala padanya dan menjawab panggilannya.

"Bang.. udah dong ngambeknya.. iya aku salah. Aku minta maaf. Jangan diem kek gitu terus dong ah. Gak seru." Ujar Dewa sambil mengerucutkan bibirnya. Wajahnya berekspresi memelas. Berharap abangnya mau mendengar dan sekaligus memaafkannya.

Terdengar Juna menghela napas. Pada akhirnya dia tidak bisa mengacuhkan Dewa begitu lama. Dia mudah sekali luluh, apalagi ketika Dewa memasang tampang memelas seperti itu.

"Abang kayak begini biar kamu jera Dewa. Karena apa yang kamu lakuin kemarin itu benar-benar berbahaya buat kesehatan kamu sendiri." Omel Juna meski sepenuhnya perkataannya hanya menunjukkan keperduliannya pada adik semata wayangnya itu.

"Iya iya. Kan aku udah minta maaf. Udah dong jangan marah terus. Jangan ngomel terus. Gak kasihan sama aku apa?"

"Kamu aja gak kasihan sama dirimu sendiri."

"Ihhh bang Juna. Udah dong.. aku sedih nih kalau abang kayak gini."

Juna memutar bola matanya malas. Namun setelahnya memandang Dewa penuh sayang. Meski pada akhirnya dia mendorong kening adiknya itu dengan pelan karena geregetan sendiri pada Dewa. "Jangan diulangi lagi. Ngerti?"

Dewa yang biasanya sewot jika keningnya didorong seperti itu kini malah tertawa. Karena dia tahu, jika abangnya sudah seperti itu artinya abangnya sudah tidak marah lagi padanya. "Yeayyy. Gitu dong. Jangan marah terus. Kan ganteng kalau kayak gitu."

Juna mencibir pujian Dewa. "Abang tuh gak marah. Cuma kesel aja sama kamu karena bebal banget. Gak bisa dibilangin. Emosian lagi."

Dewa mememblekan bibir bawahnya. "Yang penting Dewa ganteng." Ujarnya tidak nyambung. Membuat Juna hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.

"Sudah, buka mulutnya lagi."

Dewa tersenyum lalu melebarkan mulutnya seperti yang diperintahkan abangnya. Dia pun kembali makan dengan disuapi abangnya. Beberapa saat kemudian pintu ruang rawatnya dibuka. Membuat Dewa dan Juna menolehkan kepala ke arah yang sama secara bersamaan pula.

Bisa keduanya lihat, dokter Fariz yang menangangi Dewa, masuk ke dalam ruangan dengan wajah berseri-seri. Dokter paruh baya itu melangkah menghampiri kedua kakak beradik yang menyambut kedatangannya dengan senyuman dibibir mereka masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEWAJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang