Adnan nyamperin gue yang duduk di salah satu bangku dalam cafe.
"Udah lama, Nav?"
"Enggak kok, baru 5 menitan." tapi smoothie yang ada di depan gue udah berkurang setengah gelas. Beneran gak pinter bohong.
"Ini," Adnan nyodorin kertas tebal berwarna hijau army kedepan gue. Terlihat cetakan nama Adnan dan Azalea di cover depannya.
"Bulan depan ya?" tanya gue setelah liat undangannya.
"Hm." Adnan mengangguk.
"Nanti gue usahain datang."
"Thanks. Btw gue boleh bilang sesuatu?"
Gue mengangkat alis, "Go on,"
"Gue mau minta maaf buat apapun yang udah gue lakuin ke lo. Gue gak bermaksud buat lo sakit hati atau ngerasa kesel, Nav."
"Gue juga minta maaf, Adnan. Harusnya gue gak cuekkin lo selama semingguan kemarin." balas gue.
"Tapi lo parah sih, Navia. Gue sampe bingung harus ngapain."
Gue ketawa pelan. "Sorry.."
"Pernah kepikiran buat nyamperin rumah lo, tapi takut diusir." Adnan ikut-ikutan ketawa.
"Really? Aduh, gue gak enak banget. Padahal gue gak marah sampe sebegitunya, cuma lagi males nerima telepon dan bales chat orang aja," aku gue. Agak bohong sih, karena fakta sebenernya adalah, gue menghindar dari Adnan agar bisa nenangin diri dan bertanya ke hati gue sendiri.
"Tetep aja gue panik, Nav."
"Tapi lo kok tiba-tiba bisa dijodohin lagi? Ini Zee yang maksa?"
"Ya.. kayak biasanya lah. Pas denger kalo kita udah putus, dia langsung minta papanya buat ngadain pertemuan sama keluarga gue."
"Astaga, serem banget sih. Lo yang kuat ya kalo udah bareng dia nanti."
Adnan terlihat diam gak menjawab. "Nav, kira-kira gue harus terima atau nolak aja?" tanyanya kemudian.
"Jangan macem-macem deh, Adnan. Undangannya ini udah ada kan,"
"Capek, Nav. Selama ini selalu disuruh dan diatur buat ngikutin apa kata nyokap bokap. Gue kan manusia, bukan peliharaan mereka," kata-kata Adnan membuat gue jadi sedikit gak tega sama dia. Mengingat keluarga gue, selama 22 tahun gak pernah ngatur-ngatur kayak yang keluarga dia lakuin.
Gue meraih kepala Adnan yang tertunduk. "Nan, kan lo pernah bilang, kalo kita terus-terusan nanemin mindset 'gak suka', selamanya kita gak bakal pernah suka. Kenapa gak lo coba jalanin dulu sama Zee?" ucap gue masih dengan tangan yang tertahan dikepalanya.
Saat tangan gue mau turun, tangan dia malah menahannya seolah nyuruh 'udah lo usap-usap aja'. Mau gak mau tangan gue kembali gue taro di puncak kepalanya.
"Pinjem bentar tangannya." kata dia. Aduh, ini anak umur 22 atau 12 tahun???
"Sok dijawab, Nan, pertanyaan gue tadi."
"Gue gak mau sama dia, Nav. Dari dulu gue selalu berpikir kalo apa-apa yang dipaksain itu belom tentu buruk. Tapi buat kasus Zee, gue rasa dia sifat memaksa dia udah gak baik. Gue gak suka saat dia ikut nyakitin orang yang gue sayang,"
Tangan gue terhenti dari kegiatan sebelumnya. Maksudnya..
"Mungkin lo udah lupa, tapi pas SMA gue sempat vakum main band karena trauma liat gitar. Dan itu semua karena cewek itu, Nav."
"But, how?"
"Dia ngehajar anak akustik pake gitar gue, di depan mata gue sendiri. That's the worst memory yang gue punya selama SMA. Karena kejadian itu, temen gue sempat koma selama hampir sebulan,"
"Bentar-bentar, kenapa Zee ngelakuin itu, I mean-"
"Gue ketauan jalan bareng anak akustik itu, padahal kita cuma beli perlengkapan buat manggung. Dan kesalahan dia, kenapa dia harus marah disaat gue gak pernah nganggep dia orang penting di hidup gue?"
Sekarang gue inget. Kasus Nadifa, anak IPS yang waktu itu gak masuk selama hampir sebulan. Dipikirnya hamil atau gimana kan, ternyata anaknya koma dan dirawat di rumah sakit. Tapi sampe SMA selesai, anak satu sekolah gak pernah tau penyebabnya apa.
Dan kata 'kaget' rasanya gak cukup buat mengungkapkan perasaan gue sekarang saat tau kebenarannya. I mean, nih cewek udah diluar batas wajar. Dia bukannya sayang sama Adnan tapi udah kearah obsesi jahat.
"Gue gak tau Azalea se-sakit itu," respon gue.
"Dia bisa lebih gila kalo dibiarin terus. Gue rasa otaknya udah gak normal."
"Then, rencana lo mau gimana, Adnan?" tanya gue pasrah, gak tau kenapa gue juga ikut pasrah seolah gue ada di posisi Adnan sekarang.
"Mau lari,"
"Kemana?"
"Lo mau ikut?" bukannya menjawab, Adnan malah melontarkan pertanyaan gak masuk akal ke gue.
"Kemana?"
Dia diem, kemudian tersenyum misterius. "Ada deh. Tapi lo gak bakal mau ikut kayaknya," gue cuma balas dia dengan senyuman.
Saat itu gue sadar, mungkin itu pertemuan terakhir gue dengan orang yang gue sukai di jaman SMA itu. Karena setelahnya, Adnan gak pernah muncul lagi dihadapan gue maupun Gema.
He's really gone.
-
Vote n comment ya temen-temen
Makasiii ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
For My First Love [Haechan Ryujin Hyunjin]
FanfikceSatu kampus dengan 'jodoh masa kecil' dan gitaris band terkenal semasa SMA, kira-kira Navia berakhir dengan siapa? © 2021 by aleivera