14. Keuwuan di Dalam Kamar

572 72 9
                                    

Veno memberhentikan mobilnya dengan hati-hati, mungkin sekitar jauh sepuluh meter dari rumah milik Darren yang sudah dikirimkan alamatnya oleh Jefran. Sebenarnya Jefran ingin ikut dan menunjukkan nya sendiri, tetapi ada panggilan dari rumah sakit.

"Buset, rumahnya gede banget," ujar Haikal dari kursi belakang yang merasa kagum dengan desain rumah Darren. "Seleranya boleh juga, nih."

Veno berdecak, mengajak Haikal dalam misi seperti ini memang sangat merepotkan. Apalagi Haikal selalu bertindak sesukanya, tidak mendengarkan instruksi dulu.

"Tapi kita masuknya gimana? Itu banyak orang-orang yang jaga, kata Bang Jefran gak ada," kata Haikal.

Theo mengangguk setuju, kata Jefran begitu tiga jam yang lalu.

"Mungkin temen Bang Jefran sengaja, atau dia udah tau sama apa yang bakal Bang Jefran lakuin. Dia pasti kenal banget gimana sifat Bang Jefran, karena mereka udah temenan dari kecil," jelas Veno yang Theo dan Haikal angguki setuju.

"Eh, itu 'kan si ketua geng abal-abalan itu. Bener gak, sih? Bener 'kan?" tanya Haikal heboh.

Theo dan Veno memicingkan mata mereka, ternyata benar yang di ucapkan Haikal. Laki-laki yang berdiri tegap dekat gerbang itu adalah Ankaa.

"Ini kebetulan apa takdir, sih?"

Veno memukul kepala Haikal, takdir apaan? "Berisik lo! Awas aja kalo lo ngomong yang gak berfaedah kayak gitu."

Haikal mencebik kesal, salahnya ada di sebelah mana? Apa-apa selalu saja dirinya yang kena omel.

"Kita kembali ke markas aja sekarang, kita harus buat rencana dulu. Gue yakin, masih ada banyak orang lagi yang jaga di sana," ucap Theo yang diangguki oleh Veno dan Haikal.

Veno yang bertugas sebagai pengemudi pun melajukan mobilnya untuk pergi dari sana.

•••

Setelah membuat rencana dengan semua anggota Phoenix serta membersihkan diri. Theo langsung pergi ke rumah sakit untuk menjemput Sheerin, sebab gadis itu sore ini akan pulang ke rumahnya.

Namun sayangnya, saat Theo sampai di ruang rawat yang Sheerin tempati, ruangan itu sudah kosong dan hanya ada satu suster yang sedang membereskan ranjang.

"Pasien di sini ke mana, suster?" tanyanya.

"Pasien di sini sudah pulang beberapa menit yang lalu."

Tanpa pamit Theo pergi dari sana dan pergi menuju rumah Sheerin. Ia bertanya-tanya, kenapa Sheerin tidak mengirimkan pesan kepadanya? Dan dengan siapa gadis itu pulang?

Brak'

"Sheerin!" panggilnya dengan sedikit berteriak.

"Astaga, Kak Theo. Kalo dateng ke rumah orang itu ucap salam dulu, jangan main nyelonong aja kayak ayam," omel Reanna yang kaget dengan suara Theo. Gadis itu sedang membuat susu coklat untuk dirinya sendiri.

"Sheerin mana?" tanya Theo. Dia mengabaikan semua omelan Reanna.

"Di kamar dia--" Reanna tak melanjutkan ucapannya sebab Theo sudah lebih dulu berlalu. "Yeu, si monyet. Belum selesai ngomong udah main pergi aja."

Jika sedang khawatir Theo memang akan melupakan semua yang ada di sekelilingnya bahkan kata sopan santun pun hilang begitu saja dari dirinya. Dia masuk tanpa mengetuk pintu dulu ke kamar Sheerin.

"Sheerin?" panggilnya tapi Sheerin tak menjawab apapun. Padahal gadis itu tengah terduduk di pinggiran ranjang, tatapannya kosong ke arah jendela kamar.

"Sheerin, kenapa lo gak ngasih kabar ke gue kalo lo mau pulang? Lo gak tau seberapa khawatirnya gue tadi."

Theo menatap Sheerin bingung, ini seperti bukan Sheerin. Gadis itu hanya diam, tidak mengoceh seperti biasanya.

Karena capek berdiri terus, akhirnya Theo memilih duduk di samping Sheerin tapi gadis itu malah menggeser. Seakan tidak mau berdekatan dengan Theo dan Theo sudah menahan kesal setengah mati. Maksud Sheerin menggeser tempat duduknya apa? Gadis itu tidak mau berdekatan dengannya karena apa? Dia tidak bau dan juga bukan virus yang mematikan, apalagi kotoran yang wajib dijauhi.

"Sheerin lo kenapa?" tanyanya dengan nada tak suka. Dia memegangi kedua pundak sempit milik Sheerin.

Gadis itu menepis tangan Theo yang bertengger di pundaknya. "Jangan sentuh gue! Jauh-jauh lo dari gue, gue gak mau ketemu sama lo lagi."

Theo benar-benar sangat bingung setengah mati dengan tingkah Sheerin yang berubah. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat sampai gadisnya ini tak ingin berdekatan dengannya?

"Ngomong sama gue sekarang juga, apa ada sesuatu yang gue lakuin sampe lo kayak gini? Denger Sheerin, gue gak suka sama sikap lo ini."

Gadis mungil itu tak menjawab, dia malah membuang mukanya ke sembarang arah. Bahkan ia pun tak tahu harus dengan cara apa memberikan penjelasan kepada Theo.

"Sheerin, madep sini! Gue ada di sini bukan di sana!" sentak Theo. Sheerin seakan menguras seluruh emosinya. "Kalo ada orang ngomong tuh liat orangnya, Sheerin!"

Kesalahan besar Theo membentak Sheerin, buktinya sekarang Sheerin menangis sesenggukan.

Theo membuang napasnya panjang dan mengusap wajahnya kasar. Dia membawa tubuh mungil milik Sheerin ke dalam pelukannya. "Maaf, gue kelepasan tadi."

"Udah, jangan nangis lagi. Gue minta maaf. Sekarang lo ngomong sama gue, ada apa hm?" tanya Theo dengan lembut. Sebisa mungkin dia harus bisa mengontrol emosinya.

"Jangan bentak lagi, gue takut," cicit Sheerin yang masih bisa Theo dengar.

Theo mengangguk, "Iya, maaf yah."

Tanpa keduanya sadari, ada Reanna yang mengintip dari balik pintu kamar. Dia langsung berlari ke kamar Sheerin kala rungunya mendengar suara Theo yang membentak Sheerin. Tapi pas sampai di pintu kamar dia malah disuguhkan dengan adegan romantis kayak gini, bikin jiwa jomblonya berkoar-koar sedari tadi.

"Kapan Haikal peka sama gue? Udah gak tahan pengen uwu-uwuan sama dia," gumamnya pelan.

•••

Setelah meniduri eh maksudnya menemani Sheerin sampai tidur, Theo memilih pulang ke mansion bukan ke apartemen nya. Saat sampai di sana, dia langsung mendapat tatapan tajam dari Ayahnya.

"Kemari kamu!"

Theo menurut, dia menghampiri Ayahnya yang bernama Andres Xavier Bara. Laki-laki paruh baya itu sedang duduk di sofa dengan secangkir kopi yang menemaninya.

"Ada apa, Ayah? Theo hari ini gak buat ulah lagi."

"Kamu ini kenapa, sih?"

Theo mengernyit bingung, perasaan dia ingat betul hari ini dia tidak melakukan kesalahan. Dia tidak membuat anak orang lain terluka sampai masuk rumah sakit.

"Sudah Ayah bilang dari kemarin, perlakuin Nancy dengan baik. Dia itu calon tunangan kamu."

Theo mendengus, ternyata soal ini. "Sampai kapanpun Theo gak akan pernah anggap dia sebagai calon tunangan atau apapun itu."

"Theo, kamu jangan membantah! Perjodohan kamu sama Nancy gak bisa dibatalkan."

"Bisa, kembalikan saham milik Ayah Nancy, maka perjodohan ini bisa dibatalkan. Gampang 'kan?"

Andres menggeram dengan tingkah anaknya, jika bukan anak kandung sudah Andres buang anak itu ke lautan. Sialnya lagi, dia menyayangi Theo. Karena hanya Theo lah satu-satunya yang meneruskan perusahaannya, sebab anak pertamanya hilang entah kemana.

"Sabar, orang ganteng banyak rezekinya." Andres mengusap-usap dadanya, memandang punggung putranya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.







Next||Delete
You're Mine

[i] [END] You're Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang