Rasa dan Rasio Sepakat, Dunia Tidak Sehitam Putih Itu!

89 3 1
                                    

Setelah dipikir-pikir, manusia dapat tidak menyadari keterbatasannya. Dalam berpikir dan memahami kenyataan, manusia cenderung mencari yang mudah-mudahnya saja tetapi berlagak seakan-akan paling memahami sehingga layak menghakimi.

Guru Besar ITB, Pak Iwan Pranoto beropini di Koran Kompas (19/12/2020). Ia menjelaskan bahwa terdapat fenomena global saat ini di mana masyarakat mudah sekali berpikir dikotomis. Seakan-akan bagi mereka hanya ada dua hakikat yang bertolak belakang: A vs B, salah satunya pasti lebih benar dari yang lain.

Coba saja saudari-saudara lihat kilas balik Twitter, Tiktok, Instagram, dan mungkin Facebook. Beberapa topik mungkin terkesan receh dan digawe-gawe: bubur diaduk vs bubur tidak diaduk, Avengers vs Tanos, anak gunung vs anak pantai. Namun beberapa topik mulai serius, politis, pragmatis, abot, ndakik-ndakik: Jokowi-Prabowo, Cebong vs Kampret, Pancasilais vs Kadrun, Pesepeda vs Pemotor, Surga vs Neraka.

Bapak Iwan dengan mengutip makalah Dichotomous Thinking dan Cognitive Ability (Mieda er al, 2020) menerangkan bahwa cara berpikir dikotomis ini berhubungan dengan rendah pencapaian pendidikan. Makane nek sekolah seng tenanan. Sebab, berpikir dikotomis ini dapat menggiring seseorang menilai secara keliru terhadap orang lain.

Nyanyian Angsa, Jason Ranti

Saya jadi teringat video ngobrol asik yang dilakukan dua tokoh mumpuni dalam Channel Kompas.com bertajuk BEGINU S2 Eps 1 Jason Ranti, Nyanyian Angsa, Iwan Fals dan Kuasa Menghakimi oleh Pak Wisnu Nugroho dan Mas Jason Ranti. Jason Ranti ialah musisi serba bisa yang produktif melukis dan dikenal lewat lagunya: Kafir dan Lagunya Begini Nadanya Begitu sedangkan Pak Wisnu Nugroho ialah penulis dan wartawan senior Kompas.

Mas Jeje – panggilan akrab Jason Ranti, mengkritik orang-orang yang mudah menghakimi. Dalam merefleksikan Puisi Nyanyian Angsa-nya WS Rendra di mana seorang pelacur dihakimi manusia tetapi diterima orang sosok yang melambangkan Tuhan, Mas Jeje mengatakan,

"itu menggambarkan bahwa dunia terlalu anj*ng, menghakimi lu!" Siapakah dunia? Ya manusia. Siapakah manusia? Mungkin saudari-saudara sekalian. Padahal menurutnya manusia itu multidimensi. Tidak ada jahat yang total jahat, tidak ada baik yang total baik. Bahkan Hitler saja merupakan seorang pecinta anjing dan pemimpin agama juga bisa melakukan korupsi dan kejahatan seksual. Tidak sehitam-putih yang dikira kan? Ha iya.

Seni Mengapresiasi

Mau dipaksa bagaimana pun, senyatanya manusia memang tidak hitam-putih. Seringkali manusia berwarna abu-abu, bahkan ada merah, kuning, jingga, dan nila. Kenyataan terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam keterbatasan berpikir manusia. Kita telah menyaksikan bahwa intelektualis (Pak Iwan) dan seniman (Mas Jeje) telah berpendapat senada dengan menyebut cara berpikir dikotomis dan mudah menghakimi adalah kecenderungan manusia yang keliru. Sayangnya, kecenderungan ini dimiliki oleh banyak orang yang secara intelektual rendah dan nilai apresiatif-refleksifnya zonk.

Pak Iwan Pranoto mengutip Guru Besar Psikologi Ellyn Kaschak (2015) menyarankan bahwa pikiran dikotomis perlu diatasi dengan memahami kenyataan-kenyataan yang rumit dan kompleks. Kompleksitas dan kerumitan itu dapat ditemukan dalam apresiasi seni dan sastra. Dalam seni dan sastra kan tidak ada benar dan salah. Asalkan indah, enak, menarik, seni dan sastra dapat dinikmati. Kemultitafsiran seni dan sastra ialah lambang kerumitan dan kompleksitas manusia. Iya to?

Tidak perlu muluk menjadi pencipta seni, cukup jadi penikmatnya saja. Seperti yang Mas Jeje lakukan dengan mengapresiasi Puisi Nyanyian Angsa-nya WS Rendra dan merefleksikannya, ia menyadari bahwa kita tidak layak untuk menghakimi manusia walaupun terkadang tindakannya keliru secara moral. Dalam seni Lukis, terkadang pertama-tama saudari-saudara perlu cepat-cepat menomorduakan makna suatu lukisan dahulu. Pertama, saudari-saudara cukup merasakan dan mengagumi keindahan lukisan yang tercipta karena perpaduan warna yang berbeda.

Bila saudari-saudara tidak suka seni, belajarlah dari seorang intelektual sejati. Ia juga mempunyai semangat apreasiasi. Caranya ialah semakin banyak mencari pengetahuan di sana-sini karena ia tahu bahwa dunia tidak sesederhana itu, dunia itu kompleks. Intelektual terus mencari tahu karena ia mampu mengapresiasi kompleksitas itu dengan ekplorasi dan berani mengkritik keyakinannya yang lampau bila memang salah. Tanpa adanya cita rasa apresiasi itu, mungkin orang hanya akan tahu bahwa sakit ada karena kutuk dan bukan karena gaya hidup yang tidak sehat.

Manut, bagaimanapun dunia tetaplah kompleks dan kepicikan manusia berpikir menutupi semuanya.

*Sambil seruput kopi dan menghisap kretek ketika Mentari sampai di peraduannya...

IJINKAN SAYA NDAKIK-NDAKIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang