Lagi-lagi saya ingin mengisahkan pengalaman saya saat menginjak bangku SMA di sekolah calon imam Katolik, Seminari Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Salah satu program yang jarang dimiliki sekolah lain ialah Live-in. Kami para siswa – yang tidak ada siswinya, diwajib tinggal dan berdinamika serta hidup dalam suatu lingkungan selama beberapa hari. Apa yang dapat kami pelajari dari sana?
Pendidikan tidak selalu terjadi di dalam kelas dan secara kaku mentransfer ilmu dari guru ke murid. John Dewey – seorang filsuf, psikolog, dan pembaru pendidikan dari Amerika, megatakan bahwa pengalaman ialah basis pendidikan (Wasitohadi, 2014 dalam jurnal berjudul Hakikat Pendidikan Dalam Perspektif John Dewey, Tinjauan Teoritis). Dalam konsep tersebut, pendidikan idealnya memampukan subjek untuk menafsirkan dan memaknai rangkaian pengalaman sedemikian rupa, sehingga ia terus bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman tersebut.
Buang dulu konsep pendidikan konvensional yang selama ini terjalin dengan kelas, guru, murid, tugas-tugas, dan ujian. Saya sedang men-dakik-ndakik.
SMA Seminari Santo Petrus Canisius Mertoyudan tempat saya pernah menempuh pendidikan memiliki program live-in. Program itu terbagi menjadi empat tahap: live-in keluarga, live-in kerja, live-in dialog inter-religius, dan live-in sosial. Keempatnya memiliki tujuan masing-masing yang diharapkan para seminaris (siswa) mampu memetik buahnya.
Dalam live-in keluarga, kami seminaris akan tinggal dalam keluarga yang secara umum hidupnya sederhana. Visinya kami diminta mampu mengenal cara hidup keluarga yang sederhana tersebut dan bersyukur atas keluarga diri sendiri bercermin dari keluarga lain. misinya kami mengikuti segala kegiatan mulai dari bekerja di kebun, bersih-bersih rumah, dan memasak. Saya waktu itu live-in dalam keluarga di salah satu desa di Bedono, Ambarawa.
Live-in kerja di tahun kedua berfokus pada pelajaran akan pentingnya menghargai suatu pekerjaan dengan mengalami sulitnya bekerja demi menyambung hidup. Saya mendapatkan pengalaman untuk bekerja di salah satu sentra pembuatan bakpia rumahan di daerah Pathuk, Yogyakarta. Lumayan, dapat keahlian baru nih, membuat bakpia.
Saya menemukan pengalaman menarik ketika dapat mengelan seorang yang seumuran saya waktu itu – 17 tahun, tetapi sudah harus menjadi buruh di sentra batik rumahan tersebut, putus sekolah, dan tinggal jauh dari orang tua.
Di tahun ketiga, kami dikirim ke pesantren-pesantren sekitar Mertoyudan, Magelang. Sebab kami mengikuti live-in inter-religius khususnya kepada umat Islam di pesantren-pesantren. Saat itu, saya tinggal di Pesantren Pondok Pesantren Rhoudlotut Thullab. Saya sangat senang saat itu karena dapat kawan baru seperjuangan dalam mendalami ilmu agama.
Dengan beberapa kawan saya sesama seminaris, kami dikenalkan apa itu mengaji dan sholat. Kami juga diajarkan bagaimana cara memakai sarung. Yang paling berkesan bagi saya adalah hadrah, sholawat dengan nyanyian rebana.
Di tahun terakhir, live-in kami bertemakan sosial. Kami diminta untuk mengamati dan merasakan permasalahan sosial yang biasa disebut KLMTD (Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir, dan Difabel). Maka, kawan-kawan seminaris saya ada yang mendapat untuk merawa orang-orang di panti jompo atau RSJ. Saat itu, kebetulan saya mendapat kesempatan untuk live-in di desa petani di Dusun Boto, Baturetno. Saya banyak mendapatkan pengalaman dan kisah perjuangan seorang petani yang sederhana dan serba berkekurangan.
Pengalaman-pengalaman itu tidak dibiarkan menguap begitu saja. Bagai sebuah kopi tubruk yang setelah diaduk perlu diendapkan dulu sebelum dinikmati, pengalaman-pengalaman yang teraduk dalam benak saya yang menimbulkan perasaan dan pikiran-pikiran kritis itu diendapkan dalam sebuah tulisan.
Kami diminta untuk menuliskan perasaan kami. Bisa jadi yang muncul kebosanan, kemarahan, gembira, sedih, terkejut, antusias, dan kecewa. Pengalaman itu kami gali lebih dalam sampai kepada sebuah kesimpulan berupa nilai. Bermakna apa pengalaman itu bagi saya? Apakah itu membantu saya untuk lebih bersyukur dan memotivasi saya untuk menghargai orang lain?
Ternyata, dalam kesederhaan saya tetap bisa merasakan hangatnya keluarga. Ternyata pendidikan adalah sesuatu yang berharga dan bekerja itu penuh perjuangan. Ternyata stigma-stigma tentang perbedaan agama bisa luluh bila saya dan saudara saya yang berbeda mau untuk duduk dan saling bercengkrama. Ternyata, permasalahan sosial itu nyata dan orang tetap bisa bersyukur dan berjuang walaupun serba berkekurangan.
Secara pribadi, nilai-nilai itu saya alami sendiri dan saya simpan dalam ransel perbekalan saya dalam meneruskan perjalanan saya menuntut ilmu dan membangun karier. Pengalaman itu menyentuh saya untuk semangat belajar matematika yang sangat menyebalkan dan saat ini ketika belajar psikologi yang sangat njlimet dan ndakik-ndakik.
Seperti pendidikan perlu sejenak keluar dari kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
IJINKAN SAYA NDAKIK-NDAKIK
Non-FictionKumpulan wacana ndakik-ndakik ini saya tulis selain karena memang refleksi saya tas pengamatan zaman akhir-akhir ini juga sebagai ajang mengikuti tantangan 30 hari konsisten menulis. Semoga bisa menjadi jejalan ide yang mungkin sulit dilaksanakan ba...