Idealis vs Realistis: Mahasiswa Arsitektur Memaknai Studinya

42 2 0
                                    


Tan Malaka mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Memang secara logis pemuda perlu yang namanya idealisme, sebab ia belum pernah mengalami jatuh bangun perjuangan dan berusaha mencari jati diri kedewasaan. Siapakah saya? Bagaimana orang harusnya memandang saya? Mau jadi apa saya nanti? Pertanyaan-pertanyaan yang menggugat itu biasanya muncul dalam diri di usia muda.

Kisah Mahasiswa Arsitektur

Setiap ada waktu senggang, saya selalu menyempatkan mengunjungi rumah kawan saya di daerah Sengkan, Jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Ia biasa dipanggil Wiku (20). Sebagai seorang mahasiswa arsitektur menuju semester lima, hari-harinya selalu bercengkrama dengan maket, konsep, desain, dan hari-hari penuh begadang yang tentu ada artinya.

Tugas yang menumpuk dan terkadang tidak berperikemahasiswaan yang bertubi-tubi datang sudah biasa dijalani. Walaupun saya seorang mahasiswa psikologi, saya pernah ikut membantunya membuat maket arsitektur dari jam delapan malam sampai jam sebelas esok paginya. Jadi kalau saudari-saudara mahasiswi-mahasiswa saya mengeluh banyaknya tugas sampai lembur tiap malam, mahasiswa arsitektur menganggapnya santapan sehari-hari.

Apa sih yang dipelajari seorang mahasiswa arsitektur? Ia bertutur bahwa menjalani studi arsitektur di Universitas Atmajaya Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri. Di semester pertama, para mahasiswa tidak buru-buru untuk dapat membuat desain. Justru mereka dikenal dengan sejarah arsitektur, filsafat estetika dan bangunan, dan mempelajari latar belakang sosial budaya dari suatu bangunan. Mahasiswa diharapkan mampu mengapresiasi suatu bentuk bangunan dan menghasilkan kekaguman dari belajar sejarah, filsafat, dan latar belakang sosial budaya arsitektur.

Dari apresiasi dan kekaguman itu, diharapkan ada hasrat dan rasa ingin tahu tentang bagaimana cara membuat karya yang estetis, praktis, sekaligus bermakna dalam, tetapi sanggup diwujudkan dengan hitungan-hitungan yang tepat. Idealisme yang ndakik-ndakik penuh estetika dan mendalam harus diperhitungkan agar dapat dituangkan dalam bentuk nyata yang realistis dan penuh perhitungan.

Deadline dan Desain Ciamik

Tugas yang paling umum dan wajib dijalani oleh para mahasiswa arsitektur adalah tugas studio. Para mahasiswa diwajibkan untuk membuat satu rancangan bangunan utuh. Dari konsep, desain, sampai mewujud dalam maket sederhana.

Semakin tinggi semester yang dijalani, maka semakin tinggi tingkat kesulitan bangunannya. Di semester dua, mahasiswa mendapatkan tugas studio untuk membuat sanggar tari. Di semester tiga, mahasiswa membuat rumah dan galeri seniman gerabah seperti yang ada di Kasongan, Bantul. Di tugas studio semester yang baru saja kawan saya ini jalani yaitu semester empat, mahasiswa wajib membuat rancangan bangunan utuh berupa gedung asrama. Semester lima ke atas, mahasiswa akan secara meningkat membuat rancangan bangunan utuh yang tinggi.

Tugas ini dikerjakan selama satu semester. Di awal, mahasiswa harus melakukan riset yang berisi rencana lokasi dan tipologi atau tujuan suatu bangunan dibuat. Kemudian, mahasiswa perlu mencari isu yang dari segi kekurangan bangunan yang secara umum ditemukan dan mungkin dasar hukumnya. Akhirnya jadilah konsep.

Proses satu semester itu cukup kompleks bila dijelaskan. Namun, secara umum, setelah jadi, konsep bangunan akan dituangkan dalam rupa digital yang dihitung dengan presisi menurut teori-teori arsitektur. Setiap minggunya mahasiswa akan mengumpulkan target yang harus diselesaikan sampai pada saatnya nanti menghasilkan suatu maket.

Tugas itu dilaksanakan bebarengan dengan tugas harian mata kuliah yang lain. Mendengar kisahnya saja. Waktu dan atensi menjadi tantangan. Mendengarkan kisah kawan saya saja, kepala saya ikut cenat-cenut.

Konsep yang ndakik-ndakik dan makna yang mendalam harus dibenturkan dengan waktu dan kemampuan eksekusi. Dosen penguji hanya akan melihat hasil akhir para mahasiswa arsitektur ini dalam bentuk laporan dan maket yang dibuat bermalam-malaman. Idealisme mahasiswa yang tinggi akan konsep bangunan yang ciamik tidak bermakna apa-apa bila tidak terealisasi dengan tepat. Bisa-bisa, ide-ide itu justru akan membunuh karena membuat diri mahasiswa menjadi tersedot atensinya.

Apa maknanya?

Menjadi mahasiswa arsitektur, sedari dini sudah dididik untuk menyadari bahwa idealisme itu perlu supaya hasil karyanya mendapat nilai tinggi. Tanpa idealisme konsep yang cukup di luar nalar, bangunan yang dibuat hanya akan menjadi bangunan konvensional biasa, tanpa kreatifitas, dan cenderung mencontoh yang sudah ada serta tidak otentik.

Namun, idealisme ndakik-ndakik itu harus langsung diterjunkan dalam kenyataan lapangan walaupun hanya dalam bentuk kalkulasi rumus, teori, serta mewujud dalam maket. Hasil-hasil itu sekiranya dapat diwujudkan oleh kontraktor. Bukan hanya gambar saja.

Bagi kawan saya itu, menjalani studi arsitektur melatihnya secara nyata untuk bisa secara cepat menjadi idealis sekaligus realistis. Cara berpikir itu membantunya dalam menjalani hari-hari menjadi seorang anak muda.

Misalnya, ketika saya dan saudari-saudara memiliki cita-cita untuk menjadi psikolog, atau pengacara, atau pebisnis handal baik bila kita memikirkan kira-kira apa yang baik dilakukan selama satu tahu, lima tahun, sepuluh tahun. Perlulah diri bertanya. Apa yang diri miliki? Target apa yang hendak dicapai? Apa yang perlu dikembangkan? Jangan sampai saya dan saudari membuang-buang waktu dan melakukan tindakan yang kurang perlu untuk mencapai tujuan.

Bagaimana kalau akhirnya gagal dan mengalami perubahan idealisme seiring berjalannya waktu? Desain juga bisa berubah ketika kemampuan kurang dan perhitungan tidak memungkinkan. Itulah seninya. 

IJINKAN SAYA NDAKIK-NDAKIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang