Monolog Gugatan Jilid II

12 2 0
                                    

Kalau nonton tayangan-tayangan di sosial media terutama konten-konten podcast, selalu digambarkan laki-laki yang menikmati hidup adalah laki-laki yang "bandel". Lihat saja, influencer-inluencer idola selalu memiliki karakter yang seirama dengan label "bandel". sebut saja nama seperti Uus, Vincent dan Desta, serta Jason Ranti.

Di lingkungan pertemanan saya pun, laki-laki yang paling dihargai dan menjadi alpha ialah yang paling agresif dan paling bandel. Si laki-laki kalem dan tidak neka-neka dianggap tidak seru. Masa sih?

Laki-laki Harus Bandel

Ketika permenungan ini ditulis, saya sedang menjalani masa usia genap kepala dua. Menurut psikologi perkembangan, usia ini berada dalam masa dewasa awal. Di usia ini, individu mempunyai cukup gambaran mengenai sosok dewasa ideal dari lingkungannya dan ia mampu mengolah itu menjadi suatu tujuan hidupnya yang ia usahakan dalam masa tersebut. Sederhananya, karena saya berada dalam usia yang baru menginjakkan diri dalam kedewasaan, saya sedang mencari arti dewasa seperti apa yang saya inginkan.

Secara halus dan tak kasat sadar, lingkungan saya mendikte bahwa laki-laki yang asik, seru, dan sukses perlu mengalami masa-masa "bandel" dulu karena jika tidak, tuanya menyesal. Nilai ini seperti suatu hukum fase perkembangan manusia yang bila tidak dijalani bisa menjadi suatu kesalahan. Bandel itu secara umum dalam lingkungan saya digambarkan orang suka nongkrong, merokok, minum, bangun siang, bolos kuliah, dan berbagai macam jenis lainnya. Bukan untuk menghakimi benar-salah lho ya, jangan salah paham. Permenungan ini untuk menjawab, apakah harus demikian?

Suatu Anomali

Saya mempunyai dua yang cukup akrab. Saya biasa terlibat dalam pembicaraan yang mendalam dengan dua teman saya ini. Walaupun demikian saya jarang bertemu mereka karena berbeda tempat studinya. Mereka bagi saya adalah suatu anomali bagi saya untuk menjalani hidup sebagai anak muda apa adanya di tengah lingkungannya saya yang mendikte denga tagline," Nakal dulu baru sukses."

Kawan pertama saya adalah seorang mahasiswa arsitektur di Universitas Atmajaya Yogyakarta. Bisa dikatakan ia adalah anak rumahan. Jarang sekali ia keluar rumah untuk sekeder nongkrong dengan kawan-kawan satu kuliahnya. Jarang bukan berarti tidak sama sekali ya.

Ia mempunyai pacar yang kuliah di tempat berbeda. Ia tinggal bersama dengan keluarga dan menerima saya dengan ramah ketika berkunjung ke rumahnya. Ia ingin membangun karier dengan belajar giat sebagai arsitek selain karena dapat mencurahkan sisi kesenian dalam dirinya, ia ingin juga membangun masa depan yang jelas bersama calon istrinya. Mungkin cita-cita ini terdengar berlebihan bagi anak muda berusia duapuluhan.

Namun bagi saya, ungkapan dia merupakan mimpi yang luar biasa bagi saya yang masih sulit membangun komitmen untuk sekedar berpacaran dan gonta-ganti gebetan.

Kawan kedua adalah mahasiswa ekonomi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia adalah anak seorang petani tulen. Kediamannya dikelilingi oleh sawah Garapan bapaknya di daerah Salam. Cukup menguras bensin ketika harus bolak-balik ke daerah kampusnya di Mrican dalam waktu 45 menit.

Kami memiliki hobi yang sama untuk menikmati kopi dan menghisap sebagatang kretek ketika bertemu dan selalu membicarakan lingkaran genre musik seputar Stevi Item dan Down for Life. Kami juga sering menceritakan sambatan kami terhadap pengalaman baru kami menjadi mahasiswa di tempat masing-masing dan usaha kami untuk bertahan.

Sering ia bercerita bagaimana ia sungguh ingin mendalami ilmu ekonominya dan mengurangi waktunya untuk sekedar nongkrong dan keluyuran tidak jelas. Ia masih memiliki semangat pula untuk membantu orang tuanya bertani di rumah dan mengurangi waktunya bermain.

Kedua kawan saya juga tidak terlalu memaksa diri mengikuti banyak kegiatan di kampus dan menjadi sosok yang aktif. Mereka tidak mau kewajibannya untuk kuliah dikorbankan hanya untuk menjadi aktif dan berpengalaman.

Dua kawan saya ini selalu menghadirkan cerita menarik yang tak ada habisnnya dan tetap seru dinikmati dan ditertawai dalam keakraban. Saya tegaskan, ini tidak untuk menilai bahwa kawan saya yang bandel tadi tidak akan sukses atau jadi tidak asik.

Semua jalan yang kita pilih tentu khas dan unik. Suatu ketika, saya dan saudari-saudara akan menjadi orang dewasa. Mencapai kedewasaan, sialnya tidak semudah rumus matematika-fisika. Kedewasaan tidak harus diperoleh dengan nakal dulu baru sukses. Ada yang orang seperti kawan-kawan saya itu yang memilih untuk tetap bergerak maju dan lurus. Tidak ada salahnya. Pengalaman ini saya mendapatkan makna bahwa menjadi laki-laki biasa-biasa saja itu tetap mengasyikkan dan indah. 

IJINKAN SAYA NDAKIK-NDAKIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang