Tulisan ini full ndakik-ndakik tentang Tuhan. Walaupun demikian, segala aliran boleh membaca. Agnostik dan ateis-ateisan atau ateis betulan, silahkan...
Jujur, saya ini yang umurnya 20 tahun masih berstatus sebagai perokok backstreet alias diam-diam supaya orang tua tidak tahu, terutama ibu saya. Kalau bapak si biasa saja, pada lanange. Dari segala jenis rokok yang pernah saya icip, kretek memang tak bisa lepas dari selera saya. Kadang-kadang Dji Sam Soe, Gudang Garam Merah, atau varian termurah dari Sehat Tentrem.
Kretek saya gemari karena banyak alasan. Pertama, ialah nasionalisme. Sebab, kretek merupakan rokok asli Indonesia yang khas dengan cita rasa perpaduan tembakau dan saus cengkih. Jujur, novel Gadis Kretek-nya Ratih Kumala menggerakkan kecintaan saya. Kedua, karena kretek adalah momen awal pertama saya belajar ngudud di bangku SMA.
Saya dahulu bersekolah di SMA yang berbentuk asrama homogen laki-laki. Ngudud menjadi alat pemersatu bangsa seperti bak Tante Ernie yang mempersatukan lelaki muda Indonesia di Instagram. Saya membeli kretek 76 ketengan pertama saya. Bunyi kretek-kretek khas yang terdengar ketika dibakar merangsang telinga.
Namun saya sendiri dan mungkin bagi beberapa homo kretekus – spesies pecinta kretek, memiliki kebiasaan yang sama dalam menikmatinya. Kretek paling nikmat dinikmati ketika senja ketika hari hendak berganti. Dibalut ketenangan sore dan suasana teras atau balkon rumah, kretek menjadi teman menikmati kesendirian. Bagi saya pribadi, kretek paling nikmat dikonsumsi dalam khidmat dan khusyuk tanpa disambi nugas. Ya, masih wajar kalau ditemani kopi hitam manis tanpa kakehan neka-neka teknik-teknik manual brew, mboh.
Seringkali, dalam keheningan mengisap kretek itu, asapnya yang terhirup dan terkepul mengiringi ingatan saya akan kegiatan yang telah saya lakukan. Kejengkelan, kemarahan, dan kesedihan dihempaskan ke udara. Sedangkan syukur dan sukacita dihirup dalam-dalam. Hisapan demi hisapan dinikmati sembari memuja semesta dalam pemandangan tumbuhan palem di sekitar rumah atau motor-mobil yang lalu lalang menuju tempat peraduan. Sudah kerasa kah ndakik-ndakiknya?
Kegiatan menghisap kretek ini dapat saya refleksikan sebagai cara manusia menemukan Tuhan alias berdoa. Ia paling nikmat dirasakan dalam keheningan tanpa dibarengi aktifitas-aktifitas banal dan monoton. Tuhan bagaikan kretek yang tetap bisa menemani saya dan mungkin saudari-saudara homo kretekus ketika bekerja, tetapi hanya sambil lalu saja dan kurang intim. Perpaduan saus cengkih dan tembakau rahmatnya tidak begitu terasa.
Asap rasa syukur dan sukacita hanya akan dihempas cepat-cepat dan justru kejengkelan, kemarahan, dan kesedihan mewujud keluhan dan umpatan dihirup dalam-dalam. Mereka menumpuk menjadi beban hidup yang suram.
Sebaiknya, kretek yang dinikmati ketika hening adalah doa yang khidmat dan khusyuk. Keheningan yang ditimbulkan merangsang ingatan akan pengalaman-pengalaman seharian. Mungkin saudari-saudara lelah dengan tugas kuliah, bertemu dengan teman yang lambene kaya uwuh, dan uang yang semakin menipis menuju akhir bulan, mungkin juga saudari-saudara ingat pengalaman sehari ketika presentasi kelas berjalan dengan baik, menang taruhan Piala Euro dengan teman sejawat, dan sukses mendapatkan hati gadis yang kita incar selama dua belas purnama.
Lalu apa? Percayalah, nikotin kretek yang cukup tinggi bisa membuatmu menemukan ide untuk mengambil langkah selanjutnya. Yang baik akan dilanjutkan, yang buruk ditinggalkan. Sederhana seperti kretek bentuknya.
Dalam mengisap kretek, kopi, dan pisang goreng bak liturgi dan syarat-syarat doa yang baik bila ada walaupun bukan itu intinya. Ia dapat mendorong kenikmatan kegiatan itu, tetapi bukan yang utama. Lagipula, bila dibandingkan dengan kedamaian dan penerimaan hidup yang dirasa, kretek hanya salah satu cara.
Saya yakin saudara-saudari memiliki cara lain-lain untuk berdoa. Misalnya, berkendara di atas motor melewati jalan lintas kota yang cukup panjang untuk kita membangun keheningan di antara konsentrasi berkendara dan imajinasi yang tanpa permisi mengetuk relung sanubari.
Bukankah seperti itulah doa yang bagaikan mengisap kretek di kala senja? Ia membawa kedamaian dan penerimaan akan hidup di mana sesal akan diperbaiki dan syukur akan ditindaklanjuti. Kretek tidak merubah apapun ketika setelahnya tidak berbuat apa-apa selayaknya doa yang tidak diikuti usaha.
Tuhan terasa nikmat dalam sebatang kretek.
KAMU SEDANG MEMBACA
IJINKAN SAYA NDAKIK-NDAKIK
No FicciónKumpulan wacana ndakik-ndakik ini saya tulis selain karena memang refleksi saya tas pengamatan zaman akhir-akhir ini juga sebagai ajang mengikuti tantangan 30 hari konsisten menulis. Semoga bisa menjadi jejalan ide yang mungkin sulit dilaksanakan ba...