Tulisan ini dimulai dengan baris pertama puisi Pak Sapardi berjudul "Aku Ingin" tentang mencintai dan merenungkannya dengan cara dan objek yang berbeda...
Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) menggetarkan minat saya untuk menjadi anggotanya sebagai mahasiswa baru. Status saya sekarang merupakan calon anggota yang menunggu waktu untuk mengikuti diklat sehingga pada saatnya menjadi sah untuk menjadi anggota.
Salah satu kampus terkenal di daerah Semarang yaitu Unika Soegijapranata, tiap fakultas memiliki UKM Mapalanya masing-masing. Di Fakultas Psikologi yang saya ikuti, Mapala ini disebut Psikopala (Psikologi Pecinta Alam).
Dalam kognisi saya, selalu terbesit kegiatan-kegiatan besar ketika membayangkan kata pecinta alam. Naik gunung menjadi kegiatan favorit dan wajib bagi para pecinta alam, seperti Mas Fiersa Besari dan Mas Dzahwin Nur Ikram sang Crazy Rich-nya Pegunungan. Saya juga mendengar cerita dari senior-senior saya yang saya hormati bahwa saudari-saudara bisa belajar panjat-turun tebing atau dinding di Mapala. Sangar to?
Saya juga membayangkan ketika di Mapala saya akan belajar survival, alias bertahan hidup di dalam hutan. Keren aja gitu melihat video-video di Youtube tentang survival ketika orang-orang bisa membuat api dengan magnesium flint dan makan dari hewan dan tetumbuhan yang ada.
Lagipula, anggota-anggota senior Psikopala yang saya kenal dapat terlibat menjadi relawan ketika bencana melanda kota Semarang yang terjadi bak sebuah tradisi. Selain itu kami akan mengalami kegiatan susur sungai dan hutan serta membersihkan pantai. Bayangan-bayangan itu menyenangkan saya.
Selama sesaudari-saudarar hampir satu tahun saya mengikuti dinamika sebagai calon anggota. Banyak latihan yang sudah dilakukan walaupun notabene dilaksanakan secara daring: pelajaran simpul, membuat bivak, serta kompas dan peta. Beberapa latihan luring juga sempat diikuti yaitu praktik membuat bivak, belajar teknik dasar turun tebing, dan membuat hearnes berbekal webbing dan carabiner. Asli istilah-istilahnya sama rumitnya dengan menghafal gangguan-gangguan psikologis.
Ada keyakinan bahwa semua kegiatan itu ditumpukan pada spirit untuk mencintai alam. Ya apalagi tujuannya? Namanya saja pecinta alam. Apapun yang berbau-bau alam seperti gunung, hutan, dan sungai dicintai. Para anggota Mapala termasuk anggota Psikopala menurut ideal saya mampu mengapresiasi alam dengan berbagai cara. Bukan sekadar untuk terlihat keren dan mengisi feed Instagram saja tentunya.
Namun, ada satu kegiatan yang cukup menarik bagi saya yang dicanangkan oleh Psikopala ini. Ialah Regrow. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya menumbuhkan kembali. Apa yang ditumbuhkan kembali? Tanaman-tanaman yang didapatkan dari limbah-limbah dapur seperti bawang-bawangan dan empon-empon (kunir, jahe, kencur) serta sayur-sayuran (sawi, kangkung, kubis, wortel, daun bawang)
Tiap-tiap jenis bahan makanan tersebut memiliki caranya masing-masing untuk dapat ditumbuhkan kembali. Namun, pada intinya bagian yang berpotensi menumbuhkan tunas dan akar seperti pangkal-pangkal sayuran dan empon-empon tersebut. Nantinya ketika tumbuh, bahan-bahan dapat digunakan kembali sebagai bahan makanan dan dapat di-regrow. Bukankah dapat menghemat biaya?
Khusus di Psikopala Unika Soegijapranata sendiri, kami para calon anggota diminta untuk membuat pot dari bahan-bahan bekas seperti kaleng, toples, dan botol bekas berbahan dasar anti air. Wadah-wadah itu diberi lubang agar air bisa bersirkulasi.
Selain itu, kami para calon anggota diminta untuk membuat pupuk organik sendiri. Pupuk ini bukan sembarang pupuk, apalagi pupuk ciang. Pupuk organik kami buat dengan sisa-sisa buah dan sayur busuk yang difermentasi dengan leri alias air bekas cucian beras dan susu probiotik, Yakult. Setelah seminggu, bau seperti tape. Jangan kelamaan dicium, ntar ngangkat dikit. Regrow yang kami lakukan sangat sederhana.
Dari situ, saya berpikir. Bayangan-bayangan yang besar tentang pecinta alam tadi harus diwujudkan dengan memulai dengan hal-hal kecil. Kalau saya bisa bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan mas-mas dan mbak-mbak senior saya, diharapkan saya dapat bertanggung jawab pula ketika sanggup terjun ke wujud mencintai alam yang besar seperti naik gunung, susur hutan/sungai, bahkan panjat-turun tebing/ tembok.
Ya, kegiatan yang sederhana ini bisa saja di skip dan diremehkan. Kemungkinan besar kualitas anggota Psikopala yang merupakan cerminan kelompok pecinta alam yang lain cuma menjadikan kegiatan ini sebagai sangar-sangaran saja dan spirit mencintai alamnya yaitu merawat bisa hilang. Senja doang ga cinta alam.
Hutan dikotori dengan sampah, tumbuhannya dipetik sembarangan, membunuh hewan seenaknya kan dilakukan karena tidak ada kesadaran merawat dalam diri yang bisa dilatih lewat Regrow. Di kelas saudari-saudara bisa ndakik-ndakik soal reboisasi, penghijauan, mboh. Namun merawat tanaman saja sulit. Tidak serta merta sih dapat digunakan menilai orang lain. Ini kan refleksi saya sendiri. Boleh kok tidak diikuti.
Satu pernyataan yang membuat saya tersentuh dari senior saya di Psikopala,
"Bahagiaku itu sederhana, melihat sayuranku bertumbuh udah bahagia..."
Puisi Pak Sapardi kuberikan pada alam.
KAMU SEDANG MEMBACA
IJINKAN SAYA NDAKIK-NDAKIK
Non-FictionKumpulan wacana ndakik-ndakik ini saya tulis selain karena memang refleksi saya tas pengamatan zaman akhir-akhir ini juga sebagai ajang mengikuti tantangan 30 hari konsisten menulis. Semoga bisa menjadi jejalan ide yang mungkin sulit dilaksanakan ba...