BAB 16

330 59 4
                                    

***

Hati Vio semakin mati rasa. Bukan karena Haidar alfa pada ulang tahun dirinya. Tapi karena merasa bahwa dirinya sebagai istri tak pernah lebih penting dari orang lain di mata suaminya.

Vio tak tidur semalaman. Di pagi hari dia langsung berangkat ke kampus. Menyendiri di dalam perpustakaan yang masih sepi. Dia diam di sudut ruangan. Mengistirahatkan kepalanya di atas meja lalu memejamkan mata seolah tidur.

Matahari semakin naik, cahaya kuning menyentuh wajah Vio dari balik jendela. Perpustakaan semakin ramai. Vio membuka mata.
Begitu dia mengangkat kepala ternyata sudah ada orang yang duduk di depannya. Sudah Vio duga, Jingga dan Alin akan selalu tahu kemana harus menemukannya.

Tanpa penjelasan apa pun, kedua sahabat Vio sudah bisa menebak apa yang terjadi.

"Kau istrinya tapi tak pernah jadi prioritas. Aku curiga janganjangan si Dara itu anak tidak sah suamimu," marah Alin. Dia yang selalu  paling sabar sekarang terlihat sangat marah.

Mereka sekarang ada di taman kampus. Kalau masih di perpustakaan, Alin tak akan berani bersuara seperti itu.

"Hey jangan bicara begitu. Jangan membuat Vio tambah sedih!" ucap Jingga.

"Tapi si Haidar itu sudah keterlaluan. Okay sebenarnya tak penting merayakan ulang tahun atau tidak. Dan ini bukan hanya masalah perayaan yang gagal berulang kali. Ini masalah sikap Haidar yang seperti tak peduli pada Vio. Tidak bisakah pria itu lebih perhatian sedikit pada istrinya?"

"Aku akan bicara pada Abang Haidar nanti. Kalian tak usah khawatir tentangku. Aku baikbaik saja," ucap Vio. Dia sangat memahami kepedulian sahabatnya. Tapi semakin mereka peduli, semakin Vio merasa terluka. Tanpa sadar dia akan membangkan perlakuan mereka dan sikap Haidar padanya. Dia akan selalu berpikir kenapa Haidar tak bisa seperti sahabatnya?

***

"Abang, ayo kita bicara!" ucap Vio setelah mereka selesai makan malam.

Haidar mengangguk dan mengikuti Vio ke ruang tengah. Duduk di sofa saling berhadapan.

"Abang, sudah setahun kita menikah. Tapi hubungan kita masih sama saja tak ada kemajuan. Di awal kita menikah kau bilang akan mencoba menerimaku, tapi aku tak melihat usahamu untuk menerimaku. Abang, aku ingin bertanya lagi padamu. Kenapa kau menikahiku?"
Vio memandang tepat anak mata Haidar.

Bisu. Haidar sama sekali tak menjawab pertanyaan Vio. Apa begitu susah menjawab pertanyaan itu?

"Apa kau merasa terpaksa saat menikah denganku?" tanya Vio lagi.

"Tentu saja tidak!" jawab Haidar cepat.

Ternyata masih memiliki suara. Vio pikir pita suara suaminya rusak karena diam saja dari tadi.

"Apa kau masih sadar bahwa aku ini istrimu?"

Haidar mengernyit dahi, "apa maksudmu?"

"Tidak ada maksud apaapa. Aku merasa aku ini hanya roommatemu saja bukan istri. Kita berbagi tempat tinggal yang sama tapi tak berbagi hidup. Kau dengan duniamu, aku dengan duniaku."

"Aku selalu berusaha memperlakukanmu dengan baik. Jika kau marah karena aku selalu sibuk, aku minta maaf. Aku akan lebih sering meluangkan waktu untukmu."

"Aku tak bermaksud begitu. Aku tahu kau sibuk. Tidak apaapa, aku mengerti. Hanya saja aku sedikit cemburu pada Dara dan ibunya. Di tengah kesibukanmu kau selalu meluangkan waktu untuk mereka. Kau selalu ada untuk mereka. Selelahlelahnya dirimu, jika Dara yang meminta kau pasti akan langsung datang padanya. Berbeda sekali dengan perlakuanmu padaku. Waktu itu aku demam pun kau menyuruh aku berangkat sendiri ke dokter karena kau sedang sibuk. Kau memesankanku taksi online seolah itu cukup membuatmu disebut suami bertanggung jawab. Aku tak menyalahkan ketiadaanmu di saat aku membutuhkanmu, hanya saja aku tak mengerti kenapa kau memperlakukan Dara dan ibunya sangat berbeda? Kasih sayang antara Oom dan keponakan? Aku rasa lebih dari itu."

Bukan Salah Jodoh ✔Where stories live. Discover now