BAB 23

374 61 9
                                    

***
Keadaan perusahaan Setyadi baikbaik saja, jadi Vio sudah bisa lega pergi bekerja lagi. Karena Jingga menginap malam sebelumnya, mereka pun pergi bersama. Jingga mengantar Vio ke kantor terlebih dahulu.

Masuk ke kantor Vio merasa aneh karena seperti diperhatikan. Tatapan orangorang padanya pun aneh.

"Apa ini?" tanya Vio melihat bunga besar di mejanya.

"Aku yang rabun dan lupa pakai kacamata saja tahu kalau itu bunga," jawab salah satu teman kerja Vio.

"Maksudku dalam rangka apa ada bunga di mejaku?" tanya Vio lagi.

"Tak tahu. Tadi ada kurir yang kirim. Katanya untukmu!"

Vio melihat kartu pada bunganya.

'Cepat sembuh Vio!'

Kening Vio mengernyit membaca card itu.
'Lah sejak kapan aku sakit? Eh kemarin aku memang cuti sakit. Tapi cuma orang kantor yang tahu. Apa janganjangan ini bunga dari boss yang melamarku? Aduh bagaimana ini. Bunga sebesar ini mau kuapakan?'

Selama bekerja Vio sesekali melirik bunga besar di bawah mejanya, dia tak bisa simpan di atas karena memakan tempat. Terlebih Vio tak pernah suka bunga.

Saat istirahat makan siang Vio terlihat tak pergi dari mejanya. Selesai sholat dzuhur Vio malah kembali ke tempatnya tak berniat makan.

"Kau belabelain tak makan untuk menjaga bunga itu kah? Tenang saja satu departemen bahkan satu kantor mungkin sudah tahu pagi ini kau mendapatkam bunga, jadi tak akan ada yang berani mengambil bunga itu. Lebih baik kau ikut makan denganku sekarang. Bukankah kau baru sembuh dari sakit, kalau skip makan nanti kau sakit lagi," ucap salah satu teman Vio.

"Aku belum lapar. Aku bawa roti dari rumah, nanti aku makan itu saja," jawab Vio sambil tersenyum. Dia tak menjelaskan kesalahpahaman tentang menjaga bunga tadi.

"Yasudah kalau gitu. Kalau mau pesan apaapa kau hubungi aku saja."

"Okay!"

Bukannya tak lapar, tapi ada yang lebih penting yang harus Vio kerjakan. Menyusun ucapan penolakan yang akan dia beri pada Izhar.

Beberapa kali katakata penolakan direvisi, namun Vio masih merasa kata itu kurang manusiawi. Masih terdengar jahat untuk Izhar. Atau dia terlalu berlebihan? Mungkin saja rasa suka Izhar pada dirinya tak sedalam mana.

"Sepertinya aku terlalu percaya diri. Kita tak kenal dekat. Aku yakin perasaan Izhar padaku belum sampai tahap dimana dia lebih baik mati jika tak bisa bersamaku. Uhh yasudah tolak dengan katakata pada umumnya saja."

Ponsel diraih dan Vio segera mengetik.

Vio:
'Assalaamu'alaikum Abang Izhar. Terima kasih atas lamaran Abang padaku. Tapi mohon maaf aku tak bisa menerima pinangan Abang. Telah ada orang lain yang datang lebih dulu dan aku memutuskan menerima pinangannya.'

Tombol send ditekan. Vio merasa lega. Agak tak nyaman membiarkan seseorang terus berharap pada dirinya. Selama ini pun Vio membalas chat Izhar murni untuk pertemanan saja, tanpa maksud memberinya harapan lain.

Vio meletakkan ponsel tanpa menunggu balasan. Dia kembali memandang bunga di bawah kakinya.

***

Orang yang lewat tak bisa tak melihat ke arah Vio yang menunggu taksi sambil memegang bunga besar. Kalau diikutkan hati sebenarnya Vio mau membuang bunga itu. Tapi takut akan menyinggung si pemberi jadi dia bawa pulang dulu saja.

Bukan Salah Jodoh ✔Where stories live. Discover now